Desember 2019

Dewasa ini, kita melihat betapa seringnya fenomena-fenomena aneh yang terjadi di Indonesia. Seperti misalnya kasus keagamaan yang marak terjadi akhir-akhir ini disebabkan tingginya sentimen keagamaan pada masyarakat Indonesia. Sehingga hal-hal seperti ibadah seringkali terganggu karena sentimen agam, bahkan tak jarang beberapa ibadah suatu agama dicekal karena tak mendapatkan izin .

Praktik bernegara yang kita jalani ini sangat banyak ragam budaya yang kita miliki, dan keseluruhan budaya itu perlu didasarkan oleh sebuah semboyan Bhinneka Tunggal Ika untuk mempertegas pandangan keragaman dan kebersamaan kita.

Salah satu penyebab merosotnya nilai-nilai moral ditengah masyarakat adalah kurangnya penanaman nilai-nilai pluralitas kepada masyarakat Indonesia itu sendiri seperti misalnya menegaskan bahwa suatu perbedaan pada manusia itu niscaya. Hal-hal seperti ini kemudian perlu dijamin oleh negara dalam rangka mengawal majority rule dan menjaga minority right.

Ali Syari’ati dalam bukunya Paradigma Kaum Tertindas, mengatakan ada lima faktor yang membentuk pribadi seseorang. Faktor pertama adalah ibunya yang memberikan kepadanya struktur dan dimensi ruhaniahnya, faktor kedua adalah ayahnya, faktor ketiga adalah sekolahnya, faktor keempat ialah masyarakat dan lingkungan, semakin kuat lingkungannya maka semakin besarlah pengaruh edukatifnya atas seseorang. Dan terakhir faktor kelima yang membentuk kepribadian ialah kebudayaan umum masyarakat ataupun kebudayaan umum dunia secara keseluruhan.

Itulah kemudian mengapa penting untuk memperkuat, mensosialisasikan, dan mengantarkan budaya tentang pluralitas yang ada di Indonesia ini kepada masyarakat Indonesia secara menyeluruh dan masif. Agar kiranya bangsa Indonesia ini bisa sadar kepada dirinya bahwa ada tanggung jawab yang ia pikul sebagai masyarakat. Bahwa dalam kehidupan keberagaman merupakan hal yang niscaya, bahkan Tuhan pun meniscayakan hal tersebut. Pentingnya memberikan sikap toleransi agar dapat menerima perbedaan pada masyarakat kemudian hal yang menjadi urgent untuk masyarakat Indonesia saat ini.

Read more

Hypebeast secara istilah setelah penulis mencermati merupakan sesuatu yang dilekatkan pada orang yang menggunakan barang branded dan original dengan maksud memamerkan kepada orang lain. Hypebeast bukan hal yang jarang kita temui lagi akhir-akhir ini. Kini kita melihat hypebeast merupakan hal lumrah yang dilakukan oleh Generasi Millenial terlebih yang berada di daerah ibu kota.

Generasi Millenial yang menggunakan barang brandid tersebut juga saling pamer khususnya pada harga atau nilai jual outfit mereka. Bahkan sempat menjadi trending di youtube dengan pertanyaan “berapa harga outfit lo ?”. Video-video tersebut kemudian viral hingga beberapa juga sampai di plesetkan. Saling memamerkan outfit dengan harga yang tinggipun kini menjadi trend untuk orang-orang yang mampu. Banyak sebenarnya teori yang bisa dikaitkan dengan hypebeast ini seperti misalnya reifikasi hingga fethisisme, namun penulis kali ini hanya akan membuat korelasi hypebeast dengan teori dari Pierre Bourdieu.

Bukan berarti penulis menulis hal ini bertujuan untuk mendiskreditkan orang-orang yang hypebeast tersebut. Namun, penulis hanya mencoba membuat korelasi dengan teori yang dikemukakan Bordieu tentang dominasi simbolik. Dominasi simbolik merupakan penindasan dengan menggunakan simbol. Penindasan inipun tak terlihat langsung, karena penindasan ini bersifat halus dengan sendirinya di Aminkan oleh pihak yang ditindas itu sendiri.

Menurut Bordieu, dominasi simbolik ini kemudian memuncak ketika menjadi pandangan penguasa yang membenarkan pandangan masyarakat pada umumnya yang disebut sebagai doxa.

Dari segi bahasapun, jika menggunakan analisis Bordieu kita dapat melihat bahwa bahasa benar benar suatu alat yang berisi kepentingan dan tidak bersifat netral. Bahasa kemudian menjadi simbol kekuasaan seperti dalam pertanyaan yang biasanya diajukan pewawancara ke anak hypebeast untuk memperlihatkan kelas sosial ekonominya. Jelas, tak lazim dan merupakan hal yang tak layak ketika kita bertanya kepada tukang becak yang menggunakan baju partai dengan pertanyaan “berapa harga outfit lo?”. Sebab, kita sudah pasti tahu jawabannya.

Ini yang dimaksud Bordieu dalam teorinya kemudian agar masyarakat bisa membuat perbedaan kelas sosial ekonomi. Dengan menunjukkan perbedaan selera yang berkembang yang kemudian mengkristal menjadi habitus.

Read more