Ada tiga gejala penting yang bisa kita anggap sebagai dampak pudarnya semangat Kebangsaan kita, yakni: masyarakat resiko, radikalisme Agama, dan politik uang. Ketiganya saling berkelindan dan menggurita sebagai implikasi praktis pudarnya bangsa hingga menjadi penyakit kronis ditubuh NKRI. Efek yang ditimbulkannya seringkali dirasakan. Ketidakberdayaan dan keterlantaran adalah bukti nyatanya.
Pertama mengenai masyarakat resiko. Lemahnya kontrol publik atas birokrasi dan pasar, demokratisasi yang seharusnya merehabilitasi solidaritas kebangsaan justru menjadi arena produksi dan distribusi resiko. Ketika pengalaman bersama sebagai bangsa yang gagal direproduksi ke segala lini, ketidakpercayaan masyarakat dalam ruang publik semakin besar, hingga setiap individu menjadi resiko terhadap sesamanya. Inilah yang digambarkan oleh Ulrich Beck, bahwa masyarakat resiko hadir karena kebanyakan resiko berasal dari industri. Giddens juga pernah menyinggung masyarakat resiko lewat pernyataannya mengenai modernitas, “modernitas adalah kultur resiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan sosial kini lebih berbahaya daripada dahulu ; bagi kebanyakan orang itu bukan masalah. Konsep resiko menjadi masalah mendasar baik dalam cara menempatkan aktor biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis-teknis dalam organisasi kehidupan sosial. Modernitas mengurangi resiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu bersamaan memperkenalkan parameter resiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya tidak dikenal di era sebelumnya.”
Dengan berkembangbiaknya risiko tersebut, politik kehilangan daya mobilisasinya untuk menggalang solidaritas sosial karena individu cenderung mengamankan diri masing-masing. Ditengah meningkatnya distrust kepada pemimpin yang korup dan predatoris, negara bahkan menjadi risiko bagi individu. Hampir setiap ruang birokrasi dipenuhi oleh calo dan broker sebab aparat birokrasi belum mampu memberikan pelayanan yang cepat dan pasti. Jika dilingkungan legislatif ada para calo anggaran, dalam keadaan darurat pun ada juga para calo bencana. Hal ini akan meningkatkan jumlah risiko dan pada akhirnya akan mengurangi rasa bangga sebagai suatu Bangsa.
Kedua mengenai radikalisme Agama. Terlibatnya para warga negara kita dalam teror, bom bunuh diri, pembantaian kelompok berkeyakinan lain, saling mengkafirkan dan pembakaran tempat ibadah menunjukkan bagaimana ekses dan destruksi telah dieksistensialisasikan secara religius untuk memenuhi kebutuhan akan heroisme dan pengorbanan. Globalisasi membuat individu menjadi asing di ruang publik, seperti para anggota kelompok radikalis berkedok Agama menjadi kawan sedangkan anak bangsa sendiri malah menjadi lawan.
Ketiga mengenai Politik uang. Ekspansi pasar kapitalis dalam globalisasi menjadikan uang sebagai kode sentral dalam interaksi sosial. Dengan kode baru ini loyalitas kebangsaan menjadi relatif. Uang mampu melembagakan setiap kepentingan tanpa memandang identitas dan karakter kebangsaan. Pasar menyerbu masuk ke pemerintahan, parlemen, dan pengadilan. Uang dijadikan media untuk memobilisasi suara di ketiga arena tersebut. Panggung demokrasi, seperti pemilu, dipenuhi figur-figur penjudi politis yang lalu mencari untung dari cashflow kampanye. Ketika uang menjadi kategori baru dalam praktik politik, kemiskinan tidak lagi diteriakkan sebagai masalah solidaritas. Miskin berarti tak ber-uang, tak ber-uang berarti tak politis, maka secara politis juga tak menarik, kecuali bisa dipakai untuk memobilisasi dana. Patologis Korupsi dan jejaring Politik uang otomatis akan terbentuk dan mengkristal, ketika rasa aman orang banyak diasalkan pada akumulasi modal dan tidak lagi pada semangat solidaritas kebangsaan.