Milad ke-74 HMI telah menandakan sepak terjang organisasi mahasiswa Islam ini punya sejarah panjang. Melihat HMI hari ini, justru melihat sebuah gerakan yang bertolak belakang dari perjuangan yang dicita-citakan sebagaimana termaktub dalam tujuan HMI. Begitu mulianya tujuan organisasi ini dengan pengaplikasian kerangka konseptual Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang digagas oleh Nurkholish Madjid, justru menyeleweng dari nilai substansialnya. Tidak dipungkiri, kemerosotan ini terjadi karena pengultusan secara simbolik yang dilakukan mayoritas kader dan terjebak pada romantisme masa lalu. Padahal, jika mayoritas kader HMI menyelami nilai substansial dari NDP dan mengamalkan segala kebenaran, maka se-Haqqul Yaqin-nya akan menghantarkan pada terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.
HMI telah melahirkan banyak kader di seluruh penjuru nusantara dengan beragam profesi. Tidak dipungkiri, bahwa relasi HMI dan kekuasaan begitu dekat. Saking dekatnya, HMI berkontribusi besar di masa Orde Baru. Sekalipun kader HMI selalu diidentikkan berada di lingkar kekuasaan, namun, ada saja kader-kader yang memilih di luar lingkaran kekuasaan itu dan senantiasa mengamalkan tujuan dari HMI. Ya, salah satunya adalah Munir Said Thalib. Dia memilih berada di luar lingkar kekuasaan dan memilih bergerak di barisan orang-orang yang tertindas.
Munir, sapaan akrabnya, adalah sosok yang merepresentasikan perjuangan kemanusiaan. Dasar sekaligus energi dalam membangun konsep dan perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM)-nya, adalah pandangan keislamannya. Dan, tampaknya memang basis keislamannya itulah yang menguatkan pandangannya mengenai HAM. Agama bagi Munir, adalah ikhtiar menerangi “ruang-ruang” kebenaran yang dibiarkan terbungkam. Baginya, kesadaran beragama adalah kesadaran keberpihakan pada kemanusiaan. Bahwa agama mewajibkan berpihak pada yang tertindas.
Keberpihakan Munir tidaklah jauh dari tulisan Nurcholish Madjid, yang biasa disapa Cak Nur, dalam HAM dan Pluralisme Agama (1997), penegakan HAM membutuhkan komitmen tulus yang berakar pada kesadaran akan makna kehidupan yang berbasis pada agama agar komitmen dan nilai-nilainya tak dangkal dan hambar. Bagi Munir, mengamalkan nilai-nilai keislaman tidak hanya dengan taat menjalankan ritual di rumah ibadah, melainkan sependapat dengan Cak Nur, kesalehan religius harus beriringan dengan kesalehan sosial. Oleh karena itu, aktualisasi nilai keislaman mewujud pula dalam masyarakat, agar tercipta sebuah kehidupan yang berprinsip egaliter nan Islami.
Sebagai sosok keturunan Arab, lingkungan keluarganya begitu taat terhadap ritual agama. Bukan berarti Munir terjebak dengan fundamentalisme sektarian, apalagi dengan yang simbolik atau memahami agama secara taklid buta. Islam yang dianutnya sangatlah erat dengan gagasan Cak Nur dalam NDP. Gagasan inilah yang menghantarkannya pada Islam yang moderat dan ikhtiarnya menampakan Islam progresif dalam melawan segala penindasan.
Paradigma Islam ala Cak Nur didapatkannya saat menjadi kader HMI dan diskusinya dengan Malik Fadjar (mantan Menteri Pendidikan Nasional), yang memantik dirinya untuk berpikir ulang tentang misi Islam: untuk kekuasaan atau kah pengabdian kepada sesama? Hasil perenungan tulisan-tulisan Cak Nur tentang Islam dan HAM, khususnya NDP, memang menggarisbawahi bahwa problem utama dan mendasar soal HAM adalah kekuasaan: baik kekuasaan politik yang tiranik, kekuasaan agama yang memonopoli kebenaran, ataupun kekuasaan lainnya.
Seperti ungkapan Munir dalam film dokumenter “Kiri Hijau, Kanan Merah”, bahwa “Tidak benar Islam itu membuat bapak-bapak hanya − ya sudah, ini takdir kita jadi miskin. Mari berdoa dan terus pulang lagi, tidur lagi dan tidak melawan apa-apa. Itu bukan Islam.” Atau, kutipan Munir yang berserakan di internet, “Islam tidak mengajarkan kita untuk memerangi agama lain, tetapi untuk memerangi penindasan dan kemiskinan.” Oleh sebabnya, keberislaman Munir adalah memperjuangkan hak-hak orang yang tertindas akibat penyalahgunaan kekuasaan.
Munir meyakini bahwa melawan segala bentuk penindasan dan membela orang yang tertindas adalah misi Islam itu sendiri. Bahkan agama pun menenkankan untuk memperjuangkan HAM sebagai ruh dalam berjihad memerangi ketidakadilan dan segala bentuk penindasan. Begitupun esensi dari NDP HMI, yang memperjuangkan nilai universal, keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan sebagai dasar perjuangan. Sebab, itulah Islam yang hakiki.
Sejatinya kader HMI, dapat meneladani sosok Munir sebagai kader, cendekiawan dan pejuang kemanusiaan. Renungan dari jejak-jejak perjuangan kemanusiaan yang selama ini diamalkan Mantan Ketua Umum HMI Komisariat Hukum Universitas Brawijaya ini adalah bentuk aktualisasi nilai dari NDP HMI. Selain dinamika intelektual yang terus dikembangkan, patut kiranya seiring dengan ikhtiar dalam memperjuangkan hak-hak orang yang dikebiri oleh penguasa. Inilah sejatinya Islam, dan inilah yang dicita-citakan dari tujuan HMI. Bahwa di HMI tidaklah cukup dengan Iman dan Ilmu saja, melainkan sempurna ketika dibarengi dengan tindakan atau diamalkan dengan aksi yang konkrit.
Kami berharap, dalam Milad ke-74 HMI semakin banyak lahir dan berlipat ganda “fajar-fajar” baru di Himpunan Mahasiswa Islam dengan meneladani spirit juang Cak Munir.