Semakin berkembangnya masyarakat dan organisasi negara, korupsi juga mengalami evolusi dari satu fase kehidupan ke fase kehidupan lainnya. Hampir disemua negara ditemukan adanya korupsi, walaupun dengan intensitas yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga ada yang mengatakan bahwa suatu pemerintahan akan tumbang bila perbuatan korupsi tidak diberantas. Praktik korupsi tidak saja terdapat di negara demokratis, biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang.
Oleh karena itu, korupsi tidak hanya ada di negara-negara maju, tetapi juga ada di negara-negara berkembang dan negara miskin. Di negara-negara berkembang dan miskin korupsi menghalangi pertumbuhan ekonomi, dan menggorogoti keabsahan politik yang selanjutnya memperburuk kehidupan bermasyarakat.
Di Indonesia sekarang korupsi telah menjadi gurita dalam sistem pemerintahan dan merupakan gambaran dari betapa bobroknya tata pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, serta buruknya pelayanan publik. Dan akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat terutama masyarakat kecil yang berada di bawah garis kemiskinan. Sekarang saja dibeberapa daerah dari berita-berita di media cetak maupun elektronik, kita bisa membaca dan melihat bahwa banjir, longsor, infrastruktur hancur, transportasi terganggu, distribusi barang-barang terhambat, kesehatan masyarakat terpuruk dan semuanya ini merupakan efek dari adanya korupsi, yang mau tidak mau secara struktural dampaknya dirasakan oleh masyarakt kecil yang tidak berdosa.
Selanjutnya terjadi perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke otonomi daerah justru menimbulkan persoalan baru, dimana korupsi berpindah dari pusat ke daerah. Dengan berbagai macam modus, korupsi yang dikemas sedemikian rupa dan terkadang atas nama kebijakan pembangunan telah melahirkan persoalan baru dibeberapa daerah. Begitu banyak terjadi korupsi di daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota hingga Desa yang tersebar di Indonesia. Mengapa demikian ? Sebab Korupsi merupakan perilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan, dan status. Tujuan kekuasaan dan status sulit untuk dimodelkan, tetapi secara relatif lebih mudah memodelkan pengaruh prilaku elit-elit (pejabat) dalam pencarian kekayaan pribadi menurut pandangan pejabat sehingga menimbulkan gap dalam kehidupan sosial masyarakat. Inilah poin awal yang bisa dianalisis bahwa korupsi merupakan “kekerasan”. Sebuah Tindakan, Karena semua tindakan dilakukan dengan tujuan, maka korupsi bukan pengecualian. Tindak korupsi adalah tindakan rasional, disengaja dan bertujuan. Praktiknya berbentuk pertukaran (exchange). Didalam segala manifestasinya, praktik korupsi tidak mungkin terjadi secara autistik melainkan hanya dalam interaksi dengan pihak lain. Setiap praktik korupsi melibatkan hubungan transaksional yang melahirkan dampak gejala kekerasan (violence), kebiadaban (barbarity), kekejaman (cruelty), dan segala bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan (inhumanity) yang muncul dalam kehidupan umat manusia.
Korupsi ; Ladang Pelanggaran HAM
Membicarakan Korupsi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bisa diibaratkan sesuatu yang senafas tapi tak senyawa karena keduanya itu adalah pelanggaran terhadap pemenuhan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kelompok hak-hak ini berbeda dengan Hak-hak Sipil dan Politik. Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya secara langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Seperti: fasilitas penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan pekerjaan yang memungkinkan bagi setiap individu anggota masyarakat di suatu wilayah baik tingkat pusat maupun daerah untuk hidup minimal dengan layak. Tanggung jawab pemenuhan atas hak-hak ini tentunya diikuti dengan mekanisme akuntabilitas negara terhadap pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hak-hak yang terkandung dalam hak ekonomi, social dan budaya.
Pemenuhan atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, semestinya dilakukan dengan rasa tanggung jawab oleh negara. Namun, jika uang yang semestinya digunakan untuk membuat rakyat lebih baik dan sejahtera sudah dikorupsi menyebabkan terjadi banyak penderitaan dikalangan masyarakkat kecil. Sehingga dapat kita lihat dampaknya adalah begitu banyak kejahatan yang terjadi, seperti perampokan, pemerkosaan, penculikan, penodongan, bahkan pembunuhan, semuanya ini dapat dikatakan sebagai asal dari kebutuhan akan hidup. Selain itu terjadi juga kemiskinan, kekurangan gizi, anak-anak putus sekolah, lapangan kerja semakin kurang, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan uang yang disediakan oleh APBN dan APBD telah dihisap oleh para pelaksana/penguasa yang bekerja sama dengan para pengusaha.
Praktek-praktek korupsi yang substansial pada sektor publik, karena berdampak sistemik. Jika dirunut, masih banyak masalah korupsi di negara ini yang dalam proses hukumnya berhenti di tengah jalan dan menjadikan permasalahan tersebut sebagai penghambat pembangunan. Berikut salah satu kasus korupsi besar yang menunggu untuk diselesaikan, tapi entah sampai kapan kita semua menunggu? Salah satu contoh kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Century.
Optimisme Terhadap Penyelenggara Negara
Upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN pada hakikatnya tidak bisa hanya dilakukan oleh aparatur negara atau instansi pemerintah. Sebab pada hakikatnya stakeholder kepemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN itu ada 3 (tiga), yaitu : negara, sektor swasta dan masyarakat. Negara atau pemerintah, konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat; sektor swasta, pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti : industri pengolahan perdagangan, perbankan, dan koperasi, termasuk kegiatan sektor informal; dan masyarakat, dalam konteks kenegaraan, kelompok masyarakat pada dasarnya berada ditengah-tengah atau diantara pemerintah dan perseorangan, yangmencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi.
Dengan demikian, maka sikap dan mental masyarakat terhadap praktik KKN dalam penyelenggaraan negara juga sangat menentukan upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN. Selama ini tata nilai masyarakat hanya menghargai seseorang dari aspek materi semata, sehingga sikap masyarakat banyak mentolerir perilaku koruptif. Apalagi bila hasil korupsi tersebut sebagian disumbangkan ke masyarakat untuk kegiatan sosial maupun keagamaan.
Seolah-olah hal ini telah menghapuskan dosa-dosa para pelaku korupsi. Oleh karena itulah, maka perlu meluruskan tata nilai masyarakat seperti ini karena cenderung mendorong terjadinya praktik korupsi. Upaya meluruskan tata nilai di masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui penyuluhan hukum, pendidikan anti korupsi yang sudah dimulai sejak dini di bangku sekolah, pembentukan komunitas masyarakat anti korupsi, keteladanan, dan kampanye anti korupsi yang dilakukan dalam berbagai media terutama media massa. Dengan gerakan kampanye anti korupsi yang massif serta penanaman nilai-nilai anti korupsi sejak dini, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat betapa berbahayanya korupsi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu bagi pelaku harus menyadari bahwa keuntungan yang diperoleh dari korupsi tidak sebanding dengan penderitaan yang akan diterimanya (menyesal sampai tujuh keturunan). Dengan tumbuhnya kesadaran seperti itu, diharapkan mampu membentuk sikap dan mental masyarakat yang anti korupsi. Kondisi demikian idealnya diperkuat dengan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai kebangsaan, Pancasila, dan nasionalisme Indonesia.