Peringatan 1 Mei sebagai hari buruh nasional sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1920. Sewaktu itu, Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Soviet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC. Pada peringatan tersebut hadir pula Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein.
May Day kembali menyambut kita semua di tengah-tengah pusaran maraknya film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC 2). Fenomena film ini sangat menguras perhatian publik sebab ada potret percintaan antara Cinta (Dian Sastro) dan Rangga (Nicholas Saputra) yang sempat bertahan hingga 14 tahun silam. Ternyata di tempat terpisah, Rangga yang tengah berada di New York, Amerika Serikat (AS), memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ia bekerja serabutan di AS, berarti Rangga pernah juga jadi buruh sebelum sukses berkarier menjadi salah satu owner cafe.
Lanjut, hari yang bersejarah ini telah merasuki sanubari dari semua kelas buruh dan kaum muda yang sadar kelas. Semangat persatuan biasanya melambung tinggi mendekati May Day. Tidak heran, karena pada hari inilah biasanya kaum buruh bisa turun ke jalan dalam jumlah ratusan ribu tanpa memandang bendera mereka. Mereka disatukan oleh kenyataan bahwa mereka adalah budak upah yang tertindas oleh pemilik kapital. Seruan “Buruh Sedunia Bersatulah!” mengumandang tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia.
Mungkin pada saat ini, kita, khususnya mahasiswa tidak pernah memikirkan apa yang terjadi dalam dunia kerja atau dunia buruh. Berbagai macam persoalan yang dihadapi, mulai dari kerja delapan jam per hari, upah murah, tidak adanya jaminan keselamatan kerja, sistem jaminan sosial yang tidak pro buruh, dan belum lagi pemberangusan serikat pekerja oleh pihak-pihak perusahaan sebagai penyelamatan modal mereka dan buruh yang tidak masuk dalam serikat, mereka tidak pernah tahu ataupun memikirkan tentang kebohongan yang dilakukan oleh perusahaan, dan mereka tidak tahu gaji yang sebetulnya untuk mereka terima, setiap gaji dan untuk sewa tidak sebanding dengan keringat mereka yang terus mengalir setiap jamnya. Ibarat prajurit yang ada di pelosok desa, banyak hormatnya dibanding upahnya.
Dalam teori nilai lebih relatif, Karl Marx mengatakan bahwa untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, kaum kapitalis harus menemukan alat-alat untuk menaikkan tingkat dimana nilai lebih dapat diproduksi. Satu-satunya cara untuk melakukan hal ini adalah membuat kaum buruh menjadi lebih produktif, tanpa harus bekerja lebih lama dari pada yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Dengan cara itulah kapitalis mencuri jam kerja buruh, dengan kerja delapan jam di industri dan kapitalis membayar upah untuk buruh yaitu empat jam pertamanya dan empat sisa dari delapan jam itu menjadi nilai lebih atau untung murni kapitalis, padahal kita sudah tahu betul bagaimana kapitalis mencuri kerja buruh dengan teori Marx tersebut. Tetapi teori untuk menarik keuntungan, mereka memakai teori David Ricardo dengan upah alami yang menyetujui apa yang dilakukan kapitalis, dan ini terbantah oleh teori marx di atas. Tetapi dalam sebagian perusahaan kita pada saat ini tidak pernah buruh diupah sesuai apa yang mereka kerjakan, dan upah buruh sampai saat ini tidak pernah mencukupi kehidupan buruh, mereka hidup di kota metropolitan yang sangat mahal bahan pokok kehidupan, padahal biaya idealnya kehidupan di kota adalah Rp.100.000 perhari. Tetapi industri hanya memberikan upah terhadap buruh dengan hitungan perhari Rp.25.000, sama saja mereka digaji dengan 1 dari 4 jam pertamanya, seperti yang dijelaskan di atas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan dan produktifitas ibarat pisau bermata dua karena adanya perbedaan persepsi antara pekerja dengan pengusaha. Dua persepsi dan dua kepentingan yang berbeda ini diharapkan mampu diselesaikan oleh serikat buruh, sebagai lembaga perwakilan buruh yang mampu menjelaskan dan memediasi kedua kepentingan tersebut.
Dengan membaca artikel di atas, mungkin ada beberapa pembaca yang kehilangan waktunya beberapa menit. Tetapi sebenarnya, di sisi lain, ini sangat berharga untuk kaum buruh agar kami semua mengetahui bahwa gerakan sosial yang mereka lakukan itu memiliki alasan-alasan yang kuat dan rasional. Mereka memperjuangkan haknya yang di telanjangi oleh pemilik modal begitupun dengan sistem yang mereka hirup itu ternyata mengandung racun, yang membuat mereka tak mampu bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Setidaknya, setelah membaca artikel ini secara tidak langsung ada doa mulia yang mengalir untuk mereka yang berjuang menuntut haknya di jalan, di pabrik, di bengkel, dan di ruang-ruang kerja lainnya. Panjang umur perjuangan. Merdeka!