Hujan menggambarkan betapa hukum alam yang senantiasa mengarahkan dan mengatur dinamika kehidupan, memiliki konsekuensi tertentu yang tak dapat dihindari. Hujan itu peringatan bagi manusia, bagi beberapa orang yang kelelahan. Lelah dalam keseriusannya melewati hidup yang sandiwara penuh kepura-puraan, logika layar kaya.
Hujan pula yang mengingatkan petani bahwa ada saat untuk meletakkan cangkul, ada saat untuk menunda rapat dan menutup toko. Hujan memaksa seorang pria pekerja keras, agar menikmati suasana palsu dirumah, bertemu dengan anak bungsunya yang dengan cara dipaksakan menunjukkan kehebatan membaca dan berhitung. Hujan memperlihatkan senyum indah sang putri sulung yang kini beranjak dewasa, yang tanpa orang tuanya tahu, sedang mengandung tiga bulan dari pacarnya yang kelihatan bijak dan sementara merajut retorikanya di semester delapan kampus tua. Hujan pula yang memberikan energi bagi sang suami yang bekerja keras membanting tulang, memeras darah dan berpeluh nanah untuk menikmati wajah cantik sang istri yang sepanjang siang tak kalah kerasnya berpeluh melenguh dengan brondong di salah satu hotel sekitaran mall dan rumah tetangga sebelahnya, lalu pergi arisan dan menghamburkan uang hasil perjuangan menyambung nyawa sang pria.
Hujan kian landai. Pagi menyublim ke dalam pusaran waktu. Ada begitu banyak percakapan di sekelilingmu, celotehan orang-orang; para pekerja, para pengusaha, para penguasa, para manusia biasa. Dari bibir mereka tersulur keluh kesah, bertumbuh dan berbaur dengan udara kota yang sebentar lagi melaksanakan pilkada, hebatnya tak ada yang berani melawan sang petahana. Demokrasi sedang (tidak) baik-baik saja.
Telingamu mendengar, matamu melihat adegan-adegan itu, kepalamu berputar-putar. Percakapan itu menyuar seolah-olah berasal dari dunia yang begitu luar. Dunia yang tidak engkau kenali tapi kau temui sehari-hari. Senyummu tersungging, merasa sayang sekaligus kasihan kepada orang-orang yang meletakkan uang sebagai Tuhan. Engkau sendiri tak pernah ambil pusing tatkala uangmu pernah dirampas oleh barang-barang mewah. Engkau sendiri tak pernah memikirkan tatkala diusir dari tempat kost gara-gara tak sanggup membayar sewa bulanan. Bagimu hidup bukanlah tujuan, melainkan perjalanan. Dalam usiamu yang baru dua puluh tahun, kau sudah kenyang dikelantang segala macam asam garam.
Badanmu tegak tetapi engkau meringis, dalam hidupmu yang statis, waktu adalah sesuatu yang magis. Waktumu sendiri tidak pernah ditandai oleh detik dan detak jarum jam. Waktumu ditandai oleh lima kali panggilan dalam sehari semalam melalui intervensi. Beberapa mungkin ditandai oleh kenangan-kenangan sebagai penanda halaman kehidupan. Ibumu berangkat jadi buruh pemerintah di desa terpencil timur indonesia dengan harapan sebesar matahari, tapi pulang dengan puluhan penyakit dan ratusan derita. Itu empat tahun yang lalu, ingatanku masih mengeja sambil merangkak.