Di saat saya menulis artikel ini, status dan kedudukan saya masih sebagai mahasiswa, yakni mahasiswa S1 yang masih berproses disalah satu kampus yang (katanya) merah yang bertepatan dibulan (maret) ini fakultas saya merayakan dies natalies.. Mengapa dilekatkan dengan istilah merah? Entah mungkin karena bangunannya cenderung berwarna merah ataukah mungkin karena memang kampus ini (pernah) punya sejarah panjang tentang pergerakan mahasiswa yang dulunya konsisten menjaga isu kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, toleransi, demokrasi, dan isu-isu lainnya yang mampu me-merahkan mata dan telinga kita apabila itu ditelanjangi.. Secara pribadi indikator yang saya gunakan mengapa menggunakan kata Merah karena pendekatan empirik, yakni pengalaman dari para pendahulu, sesepuh kami di kampus yang selalu mempromosikan kampus andalan mereka melalui simbol-simbol yang bahkan Yasraf Amir Piliang pun tak pernah menemukan dan bahkan membaca teorinya. Kata merah itu sendiri, sering dikonotasikan dengan sikap yang berani, jujur, musafir keadilan, seperti halnya lembaga negara kita yang mungkin beberapa bulan yang lalu melalui media, ratingnya sempat mencapai puluhan bintang-bintang, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbicara tentang tugas mahasiswa, mahasiswa acapkali dianalogikan sebagai agent of change, yaitu kumpulan pemuda pencetus perubahan yang seringkali memiliki semangat oposisi terhadap rezim yang berkuasa dan otoriter. Pemilik sah paradigma idealis yang orientasi pengabdiannya untuk ummat dan bangsa, itulah mahasiswa.
Mahasiswa juga sering dianggap mesin (pelopor) runtuhnya kekuasaan yang merampas hak dan kemerdekaan rakyatnya, anggapan ini semakin dipertegas ketika runtuhnya orde baru. Makanya sering terdengar asumsi bahwa kehadiran mahasiswa secara tidak langsung mengganggu dan mengancam eksistensi kelompok dan golongan tertentu. Bukan cuman itu tugas suci mahasiswa, menurut wikipedia, agent of social control juga termasuk salah satu tugasnya. Hal ini bisa kita saksikan ketika mahasiswa membentuk aliansi atau organisasi massa yang berperan aktif mengawasi seluruh kebijakan pemerintah agar tidak ada satupun kalimat yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, jangan pernah salahkan asumsi-asumsi yang mengatakan “harapan masyarakat indonesia melejit tinggi terhadap sepak terjang mahasiswa dalam mengusung perubahan yang lebih baik.”
Jika melihat tugas suci mahasiswa diatas, terkadang untuk menerjemahkannya dengan kondisi sekarang itu agak menggelikan dengan fenomena beberapa kelompok mahasiswa hari ini. Saya melihat pergerakan beberapa kelompok mahasiswa seakan tercerabut dari akarnya yaitu tercerabut dari tengah-tengah masyarakat dan seakan-akan mahasiswa itu berasal dari planet luar bumi. Sebagian Mahasiswa sekarang ini lebih suka berdebat pada tataran wacana saja tidak pernah ada tindak lanjutnya. Analoginya ibarat wacana tentang (calon) kekasih atau biasa disebut dengan kata perempuan lawan jenis dari laki-laki. Konsepsi pewacanaan tentang perempuan, cita dan cinta terkadang terlalu tinggi dan hiperbola, bahkan landasan teori yang digunakan jauh diatas melewati teori psycologi-nya Freud. Berarti lebih dari tuntas. Syair-syair cinta-Nya bisa dituliskan dimana saja. Alamat yang ditujukannya pun bisa kemana-mana (asal jangan salah alamat perihal film india yang juga pernah booming ditempo hari). Mengapa di tengah belantara kehidupan mahasiswa selalu terselip wacana tentang perempuan, cita dan cinta? Sebab itu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam film filosopi kopi ibarat kopi, susu, sendok dan cangkir. Ironisnya jika cinta-Nya tidak berlandaskan keyakinan, ide dan gagasan yang serupa, tetapi berlandaskan rupa dan darimana fakultasnya. Suatu kewajaran jika dalam prakteknya tidak sesuai dengan konsepsinya. Lebih Parahnya jika hanya bermodalkan dompet yang fasenya menghadapi ketimpangan ekonomi. Sangat mendekati mustahil. Mampukah materi dipersekutukan dengan yang non materi? Makanya perlu diselaraskan dengan apa yang dihadapi. Apabila berangkat dari kacamata materi berarti itu hanya bisa dipertemukan dengan materi, begitupun sebaliknya. Demikian salah satu penyebab terkadang beberapa mahasiswa belum mampu menuntaskan hal-hal yang menurut logika bisa disederhanakan. Mungkin karena mereka telah melampaui prinsip-prinsip atau kaidah berpikir realistis-rasional (utopis-irasional)..
Coba bayangkan perihal tentang kepribadiannya pun bisa dikatakan gagal produk. Nah, masih adakah harapan masyarakat indonesia? Untuk menjawabnya marilah sejenak merefleksikan ingatan kita tentang sejarah tokoh besar yang mempelopori suatu perubahan. Pemimpin besar seperti Hitler sang pemimpin kontroversial sebelum dia berhasil menjadi Fuhrer (pemimpin) dia aktif bekerjasama dengan para buruh yang ditindas oleh yahudi, mantan militer yang menjadi preman yang kemudian dia rangkul sehingga menjadi cikal bakal terbentuknya Pasukan tempur “SS” yang ditakuti didunia. Baginya harga diri rakyat jerman adalah yang paling utama. Kemudian Contoh kedua. Soekarno sang proklamator yang dipuja bagikan dewa dan dibenci sebagai pecandu wanita. Sebelum dia berhasil menjadi pemimpin, dia dimana-mana diasingkan, dipenjara kedaerah terpencil tetapi apa yang dia lakukan dia mengabdi kepada masyarakat, mengajarkan nya menulis, mengajarkan membaca sampai-sampai untuk mengalahkan soekarno hanya ada satu cara yaitu menjauhkannya dari rakyat. Hal itu terbukti saat soekarno menjalani tahanan rumah dimana dia di asingkan dari rakyatnya akhirnya dia lemah dan tidak dapat berbuat apalagi. Tokoh-tokoh tersebut melihat penjajah adalah musuhnya. Dimatanya hanyalah penjajah musuh yang sesungguhnya bukan pejuang ataupun kelompok lain yang melakukan perlawanan. Sebagian kelompok mahasiswa hari ini, mencita-citakan terwujudnya kondisi yang adil dan melahirkan kesejahteraan sosial secara merata tetapi mindset dalam hal melihat masalah itu terkadang kolot dan sesat. Menjadikan kelompok yang diluar dari dirinya adalah sebagai kafir, antek fir’aun, komunis, apalah-apalah. Padahal dengan tidak bersatunya kelompok mahasiswa dari latar belakang apapun (agama,suku,disiplin ilmu), disitulah sebenarnya bersemayam para penjahat-penjahat berjubah malaikat yang siap memporak-porandakan bangsamu. Perbedaan latar belakang dari beberapa kelompok mahasiswa sebenarnya bukan alasan mandeknya distribusi ide dan gerakan untuk ummat dan bangsa, sebab jika setiap kelompok mahasiswa mengklaim memiliki ideologi berarti itu sifatnya universal, tanpa sekat dan pastinya cakap merespon modernitas. Konsekuensi logisnya setiap kelompok mahasiswa tidak terjebak lagi dalam kesesatan berpikir, tidak ada lagi alasan untuk tidak bersatu membangun aliansi gerakan sosial lintas agama dan suku (seperti cipayung plus) demi menjaga keutuhan bangsa dan merawat generasi ummat (tema milad hmi ke-69) demi menyelamatkan komitmen nasional bernegara. Komitmen nasional yg di maksudkan ialah komitmen bangsa kita sejak awal untuk mendirikan negara bangsa yang modern, yang berkeadilan, toleransi, dan demokratis. Berkeadilan mengandung makna paham kesetaraan antar manusia, tidak ada perbedaan antar warga negara berdasarkan alasan-alasan apapun juga. Non diskriminasi adalah persyaratan utama menuju bangsa berkeadilan. Oleh karena itu, keadilan memerlukan sikap egalitarianisme yang memandang semua orang sama, memiliki potensi yang sama untuk diaktualisasikan, dan harus dikembangkan sikap saling percaya antar anggota masyarakat. Itu berarti bahwa masyarakat yg adil adalah masyarakat yang terbuka, yang toleran, yang tidak menginginkan pemaksaan suatu pendapat kepada kelompok yang lain. Keterbukaan ini juga menjadi syarat adanya demokrasi karena demokrasi adalah masyarakat yang terbuka, yang intinya adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat, baik itu level pribadi maupun institusional. Dengan kebebasan itu, kita bisa mendorong produktivitas yg lebih tinggi kepada masyarakat. Karena adanya kebebasan, ada inisiatif. Kita bersyukur bahwa demokrasi di negeri kita sudah di letakkan dasar-dasarnya dan sekarang ini sudah mulai menunjukkan hasil-hasilnya atau kinerjanya meskipun di sisi lain masih ada akses-akses yg tidak bisa di tempuh bahkan di hindari sekalipun. Masyarakat yang adil dan terbuka serta demokratis adalah masyarakat yg membawa semangat pluralisme bahwa kita mengakui adanya perbedaan di antara kelompok masyarakat tapi perbedaan itu hrus dipandang secara positif. Perbedaan hrus dijadikan modal menuju kebaikan dan kebajikan bermasyarakat dan berbangsa. Jika setiap kelompok mahasiswa dari latar belakang apapun telah melewati syarat-syarat seperti diatas, niscaya harapan masyarakat indonesia terhadap mahasiswa masih menyala dan semakin melejit-lejit, bukan hanya sekedar asumsi kawan. Seperti inilah tugas suci yang wajib ditunaikan, melebihi tugas dan fungsi mahasiswa yang sering terdengar dalam kalimat sambutan, orasi, dakwah dosen saat kegiatan penerimaan mahasiswa baru di kampus. Insya Allah mari kita sama-sama ber-gotong royong demi tercapainya ilmu, iman, amal padu mengabdi…. Yakin Usaha Sampai..