Tepat pada hari ini, tanggal 21 Maret 2020, juru bicara pemerintah khususnya virus corona (COVID-19), Achmad Yurianto menyatakan, terdapat penambahan 82 kasus baru pasien positif COVID-19 di Indonesia. Dengan demikian, total pasien yang terinfeksi COVID-19 yang semula 227 orang menjadi 450 orang di berbagai daerah. 38 orang meninggal dunia dan 20 orang sembuh.
Angka tersebut menjadi cambukan bahwa Negara kita pada dasarnya belum siap menghadapi COVID-19. Apalagi, awal munculnya COVID-19 di Wuhan menjadikan otoritas Negara Cina menyikapi dengan serius hingga mengkarantina daerahnya tersebut. Bukan hanya Cina, negara-negara lain pun menyikapi dengan serius. Mereka sadar, bahwa COVID-19 merupakan pandemik yang berbahaya, apalagi belum ada vaksin yang dapat menangani virus tersebut. Seharusnya, pemerintah sadar dengan kondisi global tersebut, bukannya mengantisipasi wabah COVID-19 agar tidak memasuki Indonesia, malah otoritas negara kita membuka peluang demi pendapatan pariwisata dengan membayar influencer sampai 72 M dan memberikan diskon pesawat. Bukankah otoritas negara kita begitu meremehkan wabah COVID-19? Sampai Menteri Kesehatan kita menjadikan bahan candaan dari hasil riset Harvard yang mengatakan bahwa COVID-19 sudah ada di Indonesia.
Pada akhirnya, negara kita gagap dalam menangani wabah COVID-19. Parahnya, sarana dan prasarana kesehatan bisa dikatakan masih minim, padahal jika dibandingkan dengan anggaran belanja Negara dalam sektor infrastruktur kesehatan sangat tidak seimbang.
Fenomena COVID-19 menciptakan kehidupan baru di Indonesia. Terlepas dari ketakutan sebagian masyarakat Indonesia, COVID-19 juga melahirkan kebiasaan baru, dan menguak tabir dunia kesehatan. Perihal kebiasaan baru, bahwa sebagian masyarakat yang lingkungannya terjangkit penyakit demam dan pilek berpotensi menjadi objek bullying, hingga vonis penderita COVID-19 mudah dilekatkan kepada penderita demam dan pilek biasa, dengan mudahnya menghukumi seseorang tanpa kompetensi ilmu kesehatan.
Selain itu, kebiasaan masyarakat pada umumnya akan berubah seperti halnya masyarakat menengah ke atas yang biasanya melaksanakan umroh dalam setiap bulan, akibat COVID-19, ibadahnya pastinya tertunda. Yang biasanya setiap hari Jumat menjadikan mimbar dakwah sebagai sarana menyebar ketakutan dengan dalih neraka, kafir, dan sebagainya, akan berubah karena dakwahnya tidak efektif akibat berkurangnya jumlah jamaah sampai meniadakan Shalat Jumat untuk sementara waktu. Parahnya, beberapa aktor memanfaatkan moment tersebut dengan menyuarakan untuk memakmurkan rumah ibadah dan melangsungkan Ijtima zona Asia di Kabupaten Gowa. Padahal, dengan kegiatan yang melibatkan banyak orang justru kerentanan COVID-19 berpotensi besar. Mestinya kita dapat bercermin dari kejadian yang dialami Malaysia. Lagian, beribadah di rumah tidak jadi soalkan? Apalagi di tengah pandemik seperti ini, mestinya saling mawas diri dan berikhtiar untuk meminimalisir kerugian kepada sesama.
Berikutnya, perihal terkuaknya tabir dunia kesehatan, yakni sampai sekarang, sekali lagi saya tegaskan bahwa sarana dan prasarana kesehatan Negara kita sangat tidak memadai dengan melihat indikator angka kematian akibat COVID-19 sangat tinggi. Hebatnya, Hampir semua Rumah Sakit, BPJS tidak mengcover biaya untuk pasien COVID-19. Selain itu dengan bencana COVID-19 ini, tenaga medis hanya mengandalkan kompetensi dan militansinya, sebab Negara boleh dikatakan tidak memberikan apresiasi dalam bentuk tambahan insentif kepada mereka yang bekerja 36 jam, 48 jam, bahkan 72 jam tanpa tidur.
Jangankan mempersiapkan diri sebagai Negara Maju, sebagaimana yang telah dinobatkan Amerika Serikat kepada Indonesia, menghadapi virus COVID-19 saja sudah kelabakan. Pada intinya, selain kita dituntut untuk mawas diri, ada hal positif yang bisa dipetik dari wabah COVID-19 ini, seperti menjaga jarak dari kerumunan (social distancing), memulihkan alam dari berbagai polusi dan eksploitasi, merekatkan kembali hubungan antar keluarga, melek kesehatan, hingga menggali kembali kepekaan sosial kita.
Masalah tersebut juga akan menjadi PR bagi Pemerintah, kiranya kedepan ketika mengalami krisis, dapat disikapi dengan serius dan bijak. Selain itu, menambah pengetahuan baru dalam menyikapi krisis pandemik dan peningkatan sumber daya yang kita miliki. Paling tidak, memperjuangkan kedaulatan pangan untuk ketahanan pangan di kebutuhan primer. Tentu, perubahan kedepannya dapat membangun paradigma yang mengembangkan kemakmuran. Bukan mengandalkan utang, impor dan doa qunut semata dalam menangani krisis, melainkan ikhtiar pun harus. Terima kasih COVID-19, telah membuat kami bangkit dari tidur panjang.