Emansipasi ; Upaya pembebasan terhadap praktik perbudakan perempuan.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Tawbah ayat 71)

Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antar lelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Hari ini tanggal 21 April 2016, bertepatan dengan hari Kartini yang dimana selalu di identikkan dengan gerakan emansipasi perempuan. Raden Adjeng Kartini sendiri adalah seorang dari kalangan priyayi, atau kelas bangsawan Jawa, putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, yang merupakan seorang guru agama. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang de Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, dan ia juga menerima lestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda de Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan,notonom dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Diantara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht karya Louis Coperus. Oleh orangtuanya, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Berkat kegigihannya, didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya (Pramoedya Ananta Toer, 2011).

Emansipasi perempuan ialah proses pelesapan diri para perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Jadi bila disimpulkan arti Emansipasi dan apa yang dimaksudkan oleh Kartini adalah agar perempuan mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan, seluas-luasnya, setinggi-tingginya. Agar perempuan juga di akui kecerdasannya dan diberi kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya dan Agar perempuan tidak merendahkan dan di rendahkan derajatnya di mata pria. Dalam hal ini tidak ada perkara yang menyatakan bahwa perempuan menginginkan kesamaan hak keseluruhan dari pria, karena pada hakikatnya pria dan perempuan memliki kelebihannya masing-masing. Lantas sekarang, emansipasi dijadikan kedok ‘kebebasan’ para perempuan. Jadi akan menjadi sangat miris bila pengertian emansipasi perempuan ini lantas di anggap sebagai pemberontakan perempuan dari kodrat keperempuanannya. Dimana perempuan melupakan ‘keperempuanannya’ dan lebih menunjukkan keperkasaannya secara fisik, yang notabene bukan ‘lahannya’ namun memaksakan agar ‘diakui’. Disaat perempuan lupa bahwa selain cerdas di luar sana juga harus cerdas didalam rumahnya dan emansipasi perempuan pun dijadikan kedok untuk memperdagangkan diri dalam balutan kontes putri dan ratu dengan tameng menguji kecerdasan kontestannya. Apakah hubungannya kecerdasan yang dinilai dalam balutan baju seksi dan wajah mempesona? Dan ada juga yang menjual kecantikan untuk memperoleh ‘nilai’ lebih dalam hal pendidikan, pekerjaan bahkan status sosial, suatu bentuk pelacuran terselubung yang malah menghancurkan derajat perempuan dimata pria.

Kaum perempuan harus semakin cerdas, termasuk menyikapi trend budaya pop maupun berbagai jeratan manis dunia kapitalis, hedonis-pragmatis. Dengan berpegang pada spirit emansipasi yang digagas Kartini, kaum perempuan harus memulai kerja – kerjanya manggeser stigma dan paradigma patriarkhi di negeri ini. Pada akhirnya, perempuan harus menjadi manik mustika berharga bagi kaum pria, yang diletakkan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dalam kehidupan. Selain itu, kaum perempuan harus menjadi Siti Khadijah dan Fatimah Azzahrah baru di era global, yang tetap melaksanakan kewajibannya sebagai mitra suami dalam mendidik anak, membina keluarga, dan menjadi penghias mata atau penyejuk hati suami. Selain itu sudah seharusnya untuk membangun bangsa ini agar menjadi lebih baik lagi, kaum perempuan tidak boleh melupakan hakikatnya sebagai seseorang perempuan yang mempunyai sumber kelembutan. Sudah selayaknya kaum perempuan perlu menyadari akan kodratnya. Perempuan diharapkan bisa menjadi pendidik pertama (madrasah) bagi anak-anak yang dilahirkannya. Menjadi Ibu yang dapat membimbing mereka menjadi anak yang kuat, cerdas, dan mempunyai etika yang baik agar dapat berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Itulah sebenarnya peran perempuan yang utama selain berbagai peran di ketiga bidang kehidupan ekonomi, politik dan sosial. Perempuan dituntut untuk menjalani kehidupan sesuai perannya masing – masing. Perempuan telah menjadi sosok yang harus di hormati dan dilindungi dari berbagai kekerasan dan penganiayaan. Namun, perempuan juga harus sadar akan tugas utamanya. Tugas ini mampu untuk menyadarkan perempuan generasi muda untuk menjadi perempuan yang terhormat, berharga dan sebagai kebanggaan bangsa. Soekarno berkata,”Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah dan jasa – jasa pahlawannya yang berjuang hanya untuk bangsa tercinta ini.” Kita seharusnya dapat memanfaatkan emansipasi perempuan yang sudah diperjuangkan Kartini dengan sebaik – baiknya, yaitu membekali diri untuk berpartisipasi membangun bangsa ini, mengharumkan nama kaum perempuan, membuat bangga bangsa dan tidak menjadi seseorang yang menjatuhkan martabatnya sebagai seorang perempuan. Emansipasi perempuan ini seharusnya dapat menjadikan generasi muda perempuan yang cerdas bukan menjadi lemah. Jadikan perempuan sebagai subjek bagi bangsa ini agar tidak lagi dijadikan sebagai objek (lahan) eksploitasi oleh kaum kapitalis. Merdeka!