DEMOKRASI DI SIMPANG JALAN

Hugo Chaves pernah berkata,”Bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus berikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada si miskin”. Berangkat dari pernyataan tersebut, seharusnya ada tanggung jawab negara yang bergulir kepada potret kemiskinan yang melanda negeri kaya raya ini, melalui sistem pemerintahan negara yaitu sistem demokrasi (from the people,by the people and for the people). Sejak demokrasi pertama kali dipraktekkan oleh founding fathernya, Plato dan Aristoteles, demokrasi sudah mengalami praktek yang pincang. Pada saat itu, dalam proses pengambilan kebijakan tidak semua warga kota (polis) dilibatkan. Mereka yang boleh terlibat hanya warga kota yang merdeka yakni bangsawan/ pemilik budak, pedagang, dan warga miskin (plebian). Kaum budak yang jumlahnya mayoritas justru tidak pernah dilibatkan dalam model demokrasi ini, diperkirakan 100 ribu orang pada tahun 500 SM. Di Indonesia, ide-ide demokrasi sudah lama diperjuangkan, dari persiapan awal masa pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan (demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila).

Demokrasi di indonesia, lebih banyak dan mau tidak mau terpengaruh dari pemikiran di luar indonesia sendiri baik sebagai praktik maupun wacana. Bahkan pernah lama tertindas, yakni 32 tahun dibawah kekuasaan Orde Baru. Gemuruh kebangkitan pemuda, mahasiswa dan rakyat untuk terlibat dalam perjuangan menjatuhkan rezim orde baru karena secara tidak langsung menelanjangi nilai-nilai demokrasi substansial dengan mengatasnamakan pancasila. Tak salah jika bung karno berkata,”Carilah demokrasimu sendiri ! bukan demokrasi sebab warisan barat, bukan pula demokrasi yang jatuh dari langit.” Belakangan ini memang tumbuh subur kegiatan akademik, tidak hanya untuk mencari unsur-unsur budaya lokal (partikular) yang sinergis dengan demokrasi (universal), tetapi juga mengarah penelitian sejarah untuk mengkaji perilaku kehidupan masa lampau yang secara praktis sedikit banyak sudah mencerminkan perilaku inti demokrasi, walaupun tidak pernah disebut sebagai ‘demokrasi’ itu sendiri.

Demokrasi hari ini berada dalam pusaran arus besar yang nampaknya kontradiktif namun terjadi dalam dimensi yang sama. Pertama, arus kekuatan daya atur dan formasi global yang mengkonstruksi masyarakat menjadi masyarakat jaringan. Hal itu ditandai pada kecenderungan masyarakat indonesia memilih menjadi bagian dari warga (jaringan) dunia. Hal ini adalah efek dari guncangan globalisasi (berkembangnya sains dan teknologi) dan pasar bebas yang mensyaratkan adanya masyarakat dan negara yang terbuka (toleransi dan nondiskriminasi). Dalam arus ini kemudian sering kali proyek demokratisasi terjebak dalam praktik hegemoni bahkan kolonialisasi. Hebatnya, demokrasi kemudian menjadi sebuah agama baru, sebagai teks dan konteks kebenaran yang bersifat universal bagi semua. Kedua, daya tarik wacana kemandirian yang mengedepankan wacana lokal-komunitas, secara hukum dan politik adalah praktik desentralisasi yang bertumpu pada otonomi daerah. Sebagian warga dikondisikan untuk melakukan aktivitas dengan basis lokal-komunitasnya masing-masing hingga tak jarang kemudian menjadi anarkhi pribumi. Lihat saja bagaimana isu ‘putra daerah’ sering menjadi jargon diskriminatif terhadap sebuah partisipasi di ruang publik. Belum lagi nuansa perda syari’at (islam) yang lebih menisbatkan pada simbol keberagaman tertentu, berbagai kerusuhan berbau ‘sara’ yang salah satu penyebabnya adalah pandangan komunalitas atas identitas kelompok yang over-fanatik seakan menegasikan dengan apa yang dimaknai sebagai pluralitas berbangsa dan bernegara. Melihat fakta tersebut, posisi demokrasi berada pada simpang jalan antara lokalitas dan universalitas. Gerakan demokratisasi kemudian harus bisa secara faktual menempatkan dirinya sebagai nilai universal yang bisa memediasi berbagai pluralitas dalam panggung keadilan kebersamaan. Disisi lain juga harus tahu diri untuk berpijak pada bumi dimana dia tumbuh (adaptasi budaya).

Pada akhirnya humanitas dan multikulturalisme menjadi prinsip dan pegangan yang bisa memediasi dan mengakomodir beberapa arus besar yang dijelaskan di atas. Prinsip humanisme yang membumi dan manusiawi mampu mengantarkan beberapa arus besar tersebut kepada kondisi yang berkeadilan. Dimana berkeadilan yang dimaksud adalah paham kesetaraan antar manusia, tidak ada perbedaan antar warga negara berdasarkan alasan apapun. Kehendak bersama untuk tidak ditindas, dihisap, diperkosa dan dikekang, keinginan bersama untuk ‘bebas dari’ rasa takut bukan ‘bebas untuk’, karena sering bertentangan dengan budaya lokal dan tatanan sosial yang ada. Bisa kita sinkronisasikan dengan melihat fenomena LGBT. Prinsip multikulturalisme yang mengisaratkan kehendak untuk membawa semua ekspresi kebudayaan kepada semua struktur yang seimbang dimana praktik penghormatan akan identitas subjek yang lain dan ‘merayakan perbedaan’ adalah salah satu bukti keniscayaan sebagai warga negara yang cakap dan dewasa terhadap pluralitas berbangsa dan bernegara.

Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan,”Manusia dalam kehidupan bernegara berbangsa adalah manusia yang berstatus sebagai warga, ialah sebagai warga suatu bangsa dan sekaligus sebagai warga suatu negara. Pengakuan seperti ini sesungguhnya merupakan peristiwa baru dalam sejarah kehidupan manusia. Berabad lamanya manusia hidup sebagai hamba-hamba sahaya, dan boleh dibilang tak bernilai apapun dalam masyarakatnya, kecuali tak lebih-tak kurang, hanya sebagai noktah atau oknum yang tak punya jati diri sebagai manusia seutuhnya, yang oleh sebab itu boleh dikorbankan demi kelestarian eksistensi kelompok atau kaumnya.”