April 2016

Peringatan 1 Mei sebagai hari buruh nasional sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1920. Sewaktu itu, Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Soviet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC. Pada peringatan tersebut hadir pula Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein.

May Day kembali menyambut kita semua di tengah-tengah pusaran maraknya film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC 2). Fenomena film ini sangat menguras perhatian publik sebab ada potret percintaan antara Cinta (Dian Sastro) dan Rangga (Nicholas Saputra) yang sempat bertahan hingga 14 tahun silam. Ternyata di tempat terpisah, Rangga yang tengah berada di New York, Amerika Serikat (AS), memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ia bekerja serabutan di AS, berarti Rangga pernah juga jadi buruh sebelum sukses berkarier menjadi salah satu owner cafe.

Lanjut, hari yang bersejarah ini telah merasuki sanubari dari semua kelas buruh dan kaum muda yang sadar kelas. Semangat persatuan biasanya melambung tinggi mendekati May Day. Tidak heran, karena pada hari inilah biasanya kaum buruh bisa turun ke jalan dalam jumlah ratusan ribu tanpa memandang bendera mereka. Mereka disatukan oleh kenyataan bahwa mereka adalah budak upah yang tertindas oleh pemilik kapital. Seruan “Buruh Sedunia Bersatulah!” mengumandang tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia.

Mungkin pada saat ini, kita, khususnya mahasiswa tidak pernah memikirkan apa yang terjadi dalam dunia kerja atau dunia buruh. Berbagai macam persoalan yang dihadapi, mulai dari kerja delapan jam per hari, upah murah, tidak adanya jaminan keselamatan kerja, sistem jaminan sosial yang tidak pro buruh, dan belum lagi pemberangusan serikat pekerja oleh pihak-pihak perusahaan sebagai penyelamatan modal mereka dan buruh yang tidak masuk dalam serikat, mereka tidak pernah tahu ataupun memikirkan tentang  kebohongan yang dilakukan oleh perusahaan, dan mereka tidak tahu gaji yang sebetulnya untuk mereka terima, setiap gaji dan untuk sewa tidak sebanding dengan keringat mereka yang terus mengalir setiap jamnya. Ibarat prajurit yang ada di pelosok desa, banyak hormatnya dibanding upahnya.

Dalam teori nilai lebih relatif, Karl Marx mengatakan bahwa untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, kaum kapitalis harus menemukan alat-alat untuk menaikkan tingkat dimana nilai lebih dapat diproduksi. Satu-satunya cara untuk melakukan hal ini adalah membuat kaum buruh menjadi lebih produktif, tanpa harus bekerja lebih lama dari pada yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Dengan cara itulah kapitalis mencuri jam kerja buruh, dengan kerja delapan jam di industri dan kapitalis membayar upah untuk buruh yaitu empat jam pertamanya dan empat sisa dari delapan jam itu menjadi nilai lebih atau untung murni kapitalis, padahal kita sudah tahu betul bagaimana kapitalis mencuri kerja buruh dengan teori Marx tersebut. Tetapi teori untuk menarik keuntungan, mereka memakai teori David Ricardo dengan upah alami yang menyetujui apa yang dilakukan kapitalis, dan ini terbantah oleh teori marx di atas. Tetapi dalam sebagian perusahaan kita pada saat ini tidak pernah buruh diupah sesuai apa yang mereka kerjakan, dan upah buruh sampai saat ini tidak pernah mencukupi kehidupan buruh, mereka hidup di kota metropolitan yang sangat mahal bahan pokok kehidupan, padahal biaya idealnya kehidupan di kota adalah Rp.100.000 perhari. Tetapi industri hanya memberikan upah terhadap buruh dengan hitungan perhari Rp.25.000, sama saja mereka digaji dengan 1 dari 4 jam pertamanya, seperti yang dijelaskan di atas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan dan produktifitas ibarat pisau bermata dua karena adanya perbedaan persepsi antara pekerja dengan pengusaha. Dua persepsi dan dua kepentingan yang berbeda ini diharapkan mampu diselesaikan oleh serikat buruh, sebagai lembaga perwakilan buruh yang mampu menjelaskan dan memediasi kedua kepentingan tersebut.

Dengan membaca artikel di atas, mungkin ada beberapa pembaca yang kehilangan waktunya beberapa menit. Tetapi sebenarnya, di sisi lain, ini sangat berharga untuk kaum buruh agar kami semua mengetahui bahwa gerakan sosial yang mereka lakukan itu memiliki alasan-alasan yang kuat dan rasional. Mereka memperjuangkan haknya yang di telanjangi oleh pemilik modal begitupun dengan sistem yang mereka hirup itu ternyata mengandung racun, yang membuat mereka tak mampu bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Setidaknya, setelah membaca artikel ini secara tidak langsung ada doa mulia yang mengalir untuk mereka yang berjuang menuntut haknya di jalan, di pabrik, di bengkel, dan di ruang-ruang kerja lainnya. Panjang umur perjuangan. Merdeka!

Read more

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Tawbah ayat 71)

Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antar lelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Hari ini tanggal 21 April 2016, bertepatan dengan hari Kartini yang dimana selalu di identikkan dengan gerakan emansipasi perempuan. Raden Adjeng Kartini sendiri adalah seorang dari kalangan priyayi, atau kelas bangsawan Jawa, putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, yang merupakan seorang guru agama. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang de Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, dan ia juga menerima lestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda de Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan,notonom dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Diantara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht karya Louis Coperus. Oleh orangtuanya, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Berkat kegigihannya, didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya (Pramoedya Ananta Toer, 2011).

Emansipasi perempuan ialah proses pelesapan diri para perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Jadi bila disimpulkan arti Emansipasi dan apa yang dimaksudkan oleh Kartini adalah agar perempuan mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan, seluas-luasnya, setinggi-tingginya. Agar perempuan juga di akui kecerdasannya dan diberi kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya dan Agar perempuan tidak merendahkan dan di rendahkan derajatnya di mata pria. Dalam hal ini tidak ada perkara yang menyatakan bahwa perempuan menginginkan kesamaan hak keseluruhan dari pria, karena pada hakikatnya pria dan perempuan memliki kelebihannya masing-masing. Lantas sekarang, emansipasi dijadikan kedok ‘kebebasan’ para perempuan. Jadi akan menjadi sangat miris bila pengertian emansipasi perempuan ini lantas di anggap sebagai pemberontakan perempuan dari kodrat keperempuanannya. Dimana perempuan melupakan ‘keperempuanannya’ dan lebih menunjukkan keperkasaannya secara fisik, yang notabene bukan ‘lahannya’ namun memaksakan agar ‘diakui’. Disaat perempuan lupa bahwa selain cerdas di luar sana juga harus cerdas didalam rumahnya dan emansipasi perempuan pun dijadikan kedok untuk memperdagangkan diri dalam balutan kontes putri dan ratu dengan tameng menguji kecerdasan kontestannya. Apakah hubungannya kecerdasan yang dinilai dalam balutan baju seksi dan wajah mempesona? Dan ada juga yang menjual kecantikan untuk memperoleh ‘nilai’ lebih dalam hal pendidikan, pekerjaan bahkan status sosial, suatu bentuk pelacuran terselubung yang malah menghancurkan derajat perempuan dimata pria.

Kaum perempuan harus semakin cerdas, termasuk menyikapi trend budaya pop maupun berbagai jeratan manis dunia kapitalis, hedonis-pragmatis. Dengan berpegang pada spirit emansipasi yang digagas Kartini, kaum perempuan harus memulai kerja – kerjanya manggeser stigma dan paradigma patriarkhi di negeri ini. Pada akhirnya, perempuan harus menjadi manik mustika berharga bagi kaum pria, yang diletakkan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dalam kehidupan. Selain itu, kaum perempuan harus menjadi Siti Khadijah dan Fatimah Azzahrah baru di era global, yang tetap melaksanakan kewajibannya sebagai mitra suami dalam mendidik anak, membina keluarga, dan menjadi penghias mata atau penyejuk hati suami. Selain itu sudah seharusnya untuk membangun bangsa ini agar menjadi lebih baik lagi, kaum perempuan tidak boleh melupakan hakikatnya sebagai seseorang perempuan yang mempunyai sumber kelembutan. Sudah selayaknya kaum perempuan perlu menyadari akan kodratnya. Perempuan diharapkan bisa menjadi pendidik pertama (madrasah) bagi anak-anak yang dilahirkannya. Menjadi Ibu yang dapat membimbing mereka menjadi anak yang kuat, cerdas, dan mempunyai etika yang baik agar dapat berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Itulah sebenarnya peran perempuan yang utama selain berbagai peran di ketiga bidang kehidupan ekonomi, politik dan sosial. Perempuan dituntut untuk menjalani kehidupan sesuai perannya masing – masing. Perempuan telah menjadi sosok yang harus di hormati dan dilindungi dari berbagai kekerasan dan penganiayaan. Namun, perempuan juga harus sadar akan tugas utamanya. Tugas ini mampu untuk menyadarkan perempuan generasi muda untuk menjadi perempuan yang terhormat, berharga dan sebagai kebanggaan bangsa. Soekarno berkata,”Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah dan jasa – jasa pahlawannya yang berjuang hanya untuk bangsa tercinta ini.” Kita seharusnya dapat memanfaatkan emansipasi perempuan yang sudah diperjuangkan Kartini dengan sebaik – baiknya, yaitu membekali diri untuk berpartisipasi membangun bangsa ini, mengharumkan nama kaum perempuan, membuat bangga bangsa dan tidak menjadi seseorang yang menjatuhkan martabatnya sebagai seorang perempuan. Emansipasi perempuan ini seharusnya dapat menjadikan generasi muda perempuan yang cerdas bukan menjadi lemah. Jadikan perempuan sebagai subjek bagi bangsa ini agar tidak lagi dijadikan sebagai objek (lahan) eksploitasi oleh kaum kapitalis. Merdeka!

Read more

Hugo Chaves pernah berkata,”Bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus berikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada si miskin”. Berangkat dari pernyataan tersebut, seharusnya ada tanggung jawab negara yang bergulir kepada potret kemiskinan yang melanda negeri kaya raya ini, melalui sistem pemerintahan negara yaitu sistem demokrasi (from the people,by the people and for the people). Sejak demokrasi pertama kali dipraktekkan oleh founding fathernya, Plato dan Aristoteles, demokrasi sudah mengalami praktek yang pincang. Pada saat itu, dalam proses pengambilan kebijakan tidak semua warga kota (polis) dilibatkan. Mereka yang boleh terlibat hanya warga kota yang merdeka yakni bangsawan/ pemilik budak, pedagang, dan warga miskin (plebian). Kaum budak yang jumlahnya mayoritas justru tidak pernah dilibatkan dalam model demokrasi ini, diperkirakan 100 ribu orang pada tahun 500 SM. Di Indonesia, ide-ide demokrasi sudah lama diperjuangkan, dari persiapan awal masa pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan (demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila).

Demokrasi di indonesia, lebih banyak dan mau tidak mau terpengaruh dari pemikiran di luar indonesia sendiri baik sebagai praktik maupun wacana. Bahkan pernah lama tertindas, yakni 32 tahun dibawah kekuasaan Orde Baru. Gemuruh kebangkitan pemuda, mahasiswa dan rakyat untuk terlibat dalam perjuangan menjatuhkan rezim orde baru karena secara tidak langsung menelanjangi nilai-nilai demokrasi substansial dengan mengatasnamakan pancasila. Tak salah jika bung karno berkata,”Carilah demokrasimu sendiri ! bukan demokrasi sebab warisan barat, bukan pula demokrasi yang jatuh dari langit.” Belakangan ini memang tumbuh subur kegiatan akademik, tidak hanya untuk mencari unsur-unsur budaya lokal (partikular) yang sinergis dengan demokrasi (universal), tetapi juga mengarah penelitian sejarah untuk mengkaji perilaku kehidupan masa lampau yang secara praktis sedikit banyak sudah mencerminkan perilaku inti demokrasi, walaupun tidak pernah disebut sebagai ‘demokrasi’ itu sendiri.

Demokrasi hari ini berada dalam pusaran arus besar yang nampaknya kontradiktif namun terjadi dalam dimensi yang sama. Pertama, arus kekuatan daya atur dan formasi global yang mengkonstruksi masyarakat menjadi masyarakat jaringan. Hal itu ditandai pada kecenderungan masyarakat indonesia memilih menjadi bagian dari warga (jaringan) dunia. Hal ini adalah efek dari guncangan globalisasi (berkembangnya sains dan teknologi) dan pasar bebas yang mensyaratkan adanya masyarakat dan negara yang terbuka (toleransi dan nondiskriminasi). Dalam arus ini kemudian sering kali proyek demokratisasi terjebak dalam praktik hegemoni bahkan kolonialisasi. Hebatnya, demokrasi kemudian menjadi sebuah agama baru, sebagai teks dan konteks kebenaran yang bersifat universal bagi semua. Kedua, daya tarik wacana kemandirian yang mengedepankan wacana lokal-komunitas, secara hukum dan politik adalah praktik desentralisasi yang bertumpu pada otonomi daerah. Sebagian warga dikondisikan untuk melakukan aktivitas dengan basis lokal-komunitasnya masing-masing hingga tak jarang kemudian menjadi anarkhi pribumi. Lihat saja bagaimana isu ‘putra daerah’ sering menjadi jargon diskriminatif terhadap sebuah partisipasi di ruang publik. Belum lagi nuansa perda syari’at (islam) yang lebih menisbatkan pada simbol keberagaman tertentu, berbagai kerusuhan berbau ‘sara’ yang salah satu penyebabnya adalah pandangan komunalitas atas identitas kelompok yang over-fanatik seakan menegasikan dengan apa yang dimaknai sebagai pluralitas berbangsa dan bernegara. Melihat fakta tersebut, posisi demokrasi berada pada simpang jalan antara lokalitas dan universalitas. Gerakan demokratisasi kemudian harus bisa secara faktual menempatkan dirinya sebagai nilai universal yang bisa memediasi berbagai pluralitas dalam panggung keadilan kebersamaan. Disisi lain juga harus tahu diri untuk berpijak pada bumi dimana dia tumbuh (adaptasi budaya).

Pada akhirnya humanitas dan multikulturalisme menjadi prinsip dan pegangan yang bisa memediasi dan mengakomodir beberapa arus besar yang dijelaskan di atas. Prinsip humanisme yang membumi dan manusiawi mampu mengantarkan beberapa arus besar tersebut kepada kondisi yang berkeadilan. Dimana berkeadilan yang dimaksud adalah paham kesetaraan antar manusia, tidak ada perbedaan antar warga negara berdasarkan alasan apapun. Kehendak bersama untuk tidak ditindas, dihisap, diperkosa dan dikekang, keinginan bersama untuk ‘bebas dari’ rasa takut bukan ‘bebas untuk’, karena sering bertentangan dengan budaya lokal dan tatanan sosial yang ada. Bisa kita sinkronisasikan dengan melihat fenomena LGBT. Prinsip multikulturalisme yang mengisaratkan kehendak untuk membawa semua ekspresi kebudayaan kepada semua struktur yang seimbang dimana praktik penghormatan akan identitas subjek yang lain dan ‘merayakan perbedaan’ adalah salah satu bukti keniscayaan sebagai warga negara yang cakap dan dewasa terhadap pluralitas berbangsa dan bernegara.

Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan,”Manusia dalam kehidupan bernegara berbangsa adalah manusia yang berstatus sebagai warga, ialah sebagai warga suatu bangsa dan sekaligus sebagai warga suatu negara. Pengakuan seperti ini sesungguhnya merupakan peristiwa baru dalam sejarah kehidupan manusia. Berabad lamanya manusia hidup sebagai hamba-hamba sahaya, dan boleh dibilang tak bernilai apapun dalam masyarakatnya, kecuali tak lebih-tak kurang, hanya sebagai noktah atau oknum yang tak punya jati diri sebagai manusia seutuhnya, yang oleh sebab itu boleh dikorbankan demi kelestarian eksistensi kelompok atau kaumnya.”

Read more