Peringatan 1 Mei sebagai hari buruh nasional sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1920. Sewaktu itu, Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Soviet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC. Pada peringatan tersebut hadir pula Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein.

May Day kembali menyambut kita semua di tengah-tengah pusaran maraknya film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC 2). Fenomena film ini sangat menguras perhatian publik sebab ada potret percintaan antara Cinta (Dian Sastro) dan Rangga (Nicholas Saputra) yang sempat bertahan hingga 14 tahun silam. Ternyata di tempat terpisah, Rangga yang tengah berada di New York, Amerika Serikat (AS), memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ia bekerja serabutan di AS, berarti Rangga pernah juga jadi buruh sebelum sukses berkarier menjadi salah satu owner cafe.

Lanjut, hari yang bersejarah ini telah merasuki sanubari dari semua kelas buruh dan kaum muda yang sadar kelas. Semangat persatuan biasanya melambung tinggi mendekati May Day. Tidak heran, karena pada hari inilah biasanya kaum buruh bisa turun ke jalan dalam jumlah ratusan ribu tanpa memandang bendera mereka. Mereka disatukan oleh kenyataan bahwa mereka adalah budak upah yang tertindas oleh pemilik kapital. Seruan “Buruh Sedunia Bersatulah!” mengumandang tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia.

Mungkin pada saat ini, kita, khususnya mahasiswa tidak pernah memikirkan apa yang terjadi dalam dunia kerja atau dunia buruh. Berbagai macam persoalan yang dihadapi, mulai dari kerja delapan jam per hari, upah murah, tidak adanya jaminan keselamatan kerja, sistem jaminan sosial yang tidak pro buruh, dan belum lagi pemberangusan serikat pekerja oleh pihak-pihak perusahaan sebagai penyelamatan modal mereka dan buruh yang tidak masuk dalam serikat, mereka tidak pernah tahu ataupun memikirkan tentang  kebohongan yang dilakukan oleh perusahaan, dan mereka tidak tahu gaji yang sebetulnya untuk mereka terima, setiap gaji dan untuk sewa tidak sebanding dengan keringat mereka yang terus mengalir setiap jamnya. Ibarat prajurit yang ada di pelosok desa, banyak hormatnya dibanding upahnya.

Dalam teori nilai lebih relatif, Karl Marx mengatakan bahwa untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, kaum kapitalis harus menemukan alat-alat untuk menaikkan tingkat dimana nilai lebih dapat diproduksi. Satu-satunya cara untuk melakukan hal ini adalah membuat kaum buruh menjadi lebih produktif, tanpa harus bekerja lebih lama dari pada yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Dengan cara itulah kapitalis mencuri jam kerja buruh, dengan kerja delapan jam di industri dan kapitalis membayar upah untuk buruh yaitu empat jam pertamanya dan empat sisa dari delapan jam itu menjadi nilai lebih atau untung murni kapitalis, padahal kita sudah tahu betul bagaimana kapitalis mencuri kerja buruh dengan teori Marx tersebut. Tetapi teori untuk menarik keuntungan, mereka memakai teori David Ricardo dengan upah alami yang menyetujui apa yang dilakukan kapitalis, dan ini terbantah oleh teori marx di atas. Tetapi dalam sebagian perusahaan kita pada saat ini tidak pernah buruh diupah sesuai apa yang mereka kerjakan, dan upah buruh sampai saat ini tidak pernah mencukupi kehidupan buruh, mereka hidup di kota metropolitan yang sangat mahal bahan pokok kehidupan, padahal biaya idealnya kehidupan di kota adalah Rp.100.000 perhari. Tetapi industri hanya memberikan upah terhadap buruh dengan hitungan perhari Rp.25.000, sama saja mereka digaji dengan 1 dari 4 jam pertamanya, seperti yang dijelaskan di atas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan dan produktifitas ibarat pisau bermata dua karena adanya perbedaan persepsi antara pekerja dengan pengusaha. Dua persepsi dan dua kepentingan yang berbeda ini diharapkan mampu diselesaikan oleh serikat buruh, sebagai lembaga perwakilan buruh yang mampu menjelaskan dan memediasi kedua kepentingan tersebut.

Dengan membaca artikel di atas, mungkin ada beberapa pembaca yang kehilangan waktunya beberapa menit. Tetapi sebenarnya, di sisi lain, ini sangat berharga untuk kaum buruh agar kami semua mengetahui bahwa gerakan sosial yang mereka lakukan itu memiliki alasan-alasan yang kuat dan rasional. Mereka memperjuangkan haknya yang di telanjangi oleh pemilik modal begitupun dengan sistem yang mereka hirup itu ternyata mengandung racun, yang membuat mereka tak mampu bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Setidaknya, setelah membaca artikel ini secara tidak langsung ada doa mulia yang mengalir untuk mereka yang berjuang menuntut haknya di jalan, di pabrik, di bengkel, dan di ruang-ruang kerja lainnya. Panjang umur perjuangan. Merdeka!

Read more

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Tawbah ayat 71)

Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antar lelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Hari ini tanggal 21 April 2016, bertepatan dengan hari Kartini yang dimana selalu di identikkan dengan gerakan emansipasi perempuan. Raden Adjeng Kartini sendiri adalah seorang dari kalangan priyayi, atau kelas bangsawan Jawa, putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, yang merupakan seorang guru agama. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang de Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, dan ia juga menerima lestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda de Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan,notonom dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Diantara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht karya Louis Coperus. Oleh orangtuanya, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Berkat kegigihannya, didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya (Pramoedya Ananta Toer, 2011).

Emansipasi perempuan ialah proses pelesapan diri para perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Jadi bila disimpulkan arti Emansipasi dan apa yang dimaksudkan oleh Kartini adalah agar perempuan mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan, seluas-luasnya, setinggi-tingginya. Agar perempuan juga di akui kecerdasannya dan diberi kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya dan Agar perempuan tidak merendahkan dan di rendahkan derajatnya di mata pria. Dalam hal ini tidak ada perkara yang menyatakan bahwa perempuan menginginkan kesamaan hak keseluruhan dari pria, karena pada hakikatnya pria dan perempuan memliki kelebihannya masing-masing. Lantas sekarang, emansipasi dijadikan kedok ‘kebebasan’ para perempuan. Jadi akan menjadi sangat miris bila pengertian emansipasi perempuan ini lantas di anggap sebagai pemberontakan perempuan dari kodrat keperempuanannya. Dimana perempuan melupakan ‘keperempuanannya’ dan lebih menunjukkan keperkasaannya secara fisik, yang notabene bukan ‘lahannya’ namun memaksakan agar ‘diakui’. Disaat perempuan lupa bahwa selain cerdas di luar sana juga harus cerdas didalam rumahnya dan emansipasi perempuan pun dijadikan kedok untuk memperdagangkan diri dalam balutan kontes putri dan ratu dengan tameng menguji kecerdasan kontestannya. Apakah hubungannya kecerdasan yang dinilai dalam balutan baju seksi dan wajah mempesona? Dan ada juga yang menjual kecantikan untuk memperoleh ‘nilai’ lebih dalam hal pendidikan, pekerjaan bahkan status sosial, suatu bentuk pelacuran terselubung yang malah menghancurkan derajat perempuan dimata pria.

Kaum perempuan harus semakin cerdas, termasuk menyikapi trend budaya pop maupun berbagai jeratan manis dunia kapitalis, hedonis-pragmatis. Dengan berpegang pada spirit emansipasi yang digagas Kartini, kaum perempuan harus memulai kerja – kerjanya manggeser stigma dan paradigma patriarkhi di negeri ini. Pada akhirnya, perempuan harus menjadi manik mustika berharga bagi kaum pria, yang diletakkan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dalam kehidupan. Selain itu, kaum perempuan harus menjadi Siti Khadijah dan Fatimah Azzahrah baru di era global, yang tetap melaksanakan kewajibannya sebagai mitra suami dalam mendidik anak, membina keluarga, dan menjadi penghias mata atau penyejuk hati suami. Selain itu sudah seharusnya untuk membangun bangsa ini agar menjadi lebih baik lagi, kaum perempuan tidak boleh melupakan hakikatnya sebagai seseorang perempuan yang mempunyai sumber kelembutan. Sudah selayaknya kaum perempuan perlu menyadari akan kodratnya. Perempuan diharapkan bisa menjadi pendidik pertama (madrasah) bagi anak-anak yang dilahirkannya. Menjadi Ibu yang dapat membimbing mereka menjadi anak yang kuat, cerdas, dan mempunyai etika yang baik agar dapat berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Itulah sebenarnya peran perempuan yang utama selain berbagai peran di ketiga bidang kehidupan ekonomi, politik dan sosial. Perempuan dituntut untuk menjalani kehidupan sesuai perannya masing – masing. Perempuan telah menjadi sosok yang harus di hormati dan dilindungi dari berbagai kekerasan dan penganiayaan. Namun, perempuan juga harus sadar akan tugas utamanya. Tugas ini mampu untuk menyadarkan perempuan generasi muda untuk menjadi perempuan yang terhormat, berharga dan sebagai kebanggaan bangsa. Soekarno berkata,”Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah dan jasa – jasa pahlawannya yang berjuang hanya untuk bangsa tercinta ini.” Kita seharusnya dapat memanfaatkan emansipasi perempuan yang sudah diperjuangkan Kartini dengan sebaik – baiknya, yaitu membekali diri untuk berpartisipasi membangun bangsa ini, mengharumkan nama kaum perempuan, membuat bangga bangsa dan tidak menjadi seseorang yang menjatuhkan martabatnya sebagai seorang perempuan. Emansipasi perempuan ini seharusnya dapat menjadikan generasi muda perempuan yang cerdas bukan menjadi lemah. Jadikan perempuan sebagai subjek bagi bangsa ini agar tidak lagi dijadikan sebagai objek (lahan) eksploitasi oleh kaum kapitalis. Merdeka!

Read more

Hugo Chaves pernah berkata,”Bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus berikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada si miskin”. Berangkat dari pernyataan tersebut, seharusnya ada tanggung jawab negara yang bergulir kepada potret kemiskinan yang melanda negeri kaya raya ini, melalui sistem pemerintahan negara yaitu sistem demokrasi (from the people,by the people and for the people). Sejak demokrasi pertama kali dipraktekkan oleh founding fathernya, Plato dan Aristoteles, demokrasi sudah mengalami praktek yang pincang. Pada saat itu, dalam proses pengambilan kebijakan tidak semua warga kota (polis) dilibatkan. Mereka yang boleh terlibat hanya warga kota yang merdeka yakni bangsawan/ pemilik budak, pedagang, dan warga miskin (plebian). Kaum budak yang jumlahnya mayoritas justru tidak pernah dilibatkan dalam model demokrasi ini, diperkirakan 100 ribu orang pada tahun 500 SM. Di Indonesia, ide-ide demokrasi sudah lama diperjuangkan, dari persiapan awal masa pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan (demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila).

Demokrasi di indonesia, lebih banyak dan mau tidak mau terpengaruh dari pemikiran di luar indonesia sendiri baik sebagai praktik maupun wacana. Bahkan pernah lama tertindas, yakni 32 tahun dibawah kekuasaan Orde Baru. Gemuruh kebangkitan pemuda, mahasiswa dan rakyat untuk terlibat dalam perjuangan menjatuhkan rezim orde baru karena secara tidak langsung menelanjangi nilai-nilai demokrasi substansial dengan mengatasnamakan pancasila. Tak salah jika bung karno berkata,”Carilah demokrasimu sendiri ! bukan demokrasi sebab warisan barat, bukan pula demokrasi yang jatuh dari langit.” Belakangan ini memang tumbuh subur kegiatan akademik, tidak hanya untuk mencari unsur-unsur budaya lokal (partikular) yang sinergis dengan demokrasi (universal), tetapi juga mengarah penelitian sejarah untuk mengkaji perilaku kehidupan masa lampau yang secara praktis sedikit banyak sudah mencerminkan perilaku inti demokrasi, walaupun tidak pernah disebut sebagai ‘demokrasi’ itu sendiri.

Demokrasi hari ini berada dalam pusaran arus besar yang nampaknya kontradiktif namun terjadi dalam dimensi yang sama. Pertama, arus kekuatan daya atur dan formasi global yang mengkonstruksi masyarakat menjadi masyarakat jaringan. Hal itu ditandai pada kecenderungan masyarakat indonesia memilih menjadi bagian dari warga (jaringan) dunia. Hal ini adalah efek dari guncangan globalisasi (berkembangnya sains dan teknologi) dan pasar bebas yang mensyaratkan adanya masyarakat dan negara yang terbuka (toleransi dan nondiskriminasi). Dalam arus ini kemudian sering kali proyek demokratisasi terjebak dalam praktik hegemoni bahkan kolonialisasi. Hebatnya, demokrasi kemudian menjadi sebuah agama baru, sebagai teks dan konteks kebenaran yang bersifat universal bagi semua. Kedua, daya tarik wacana kemandirian yang mengedepankan wacana lokal-komunitas, secara hukum dan politik adalah praktik desentralisasi yang bertumpu pada otonomi daerah. Sebagian warga dikondisikan untuk melakukan aktivitas dengan basis lokal-komunitasnya masing-masing hingga tak jarang kemudian menjadi anarkhi pribumi. Lihat saja bagaimana isu ‘putra daerah’ sering menjadi jargon diskriminatif terhadap sebuah partisipasi di ruang publik. Belum lagi nuansa perda syari’at (islam) yang lebih menisbatkan pada simbol keberagaman tertentu, berbagai kerusuhan berbau ‘sara’ yang salah satu penyebabnya adalah pandangan komunalitas atas identitas kelompok yang over-fanatik seakan menegasikan dengan apa yang dimaknai sebagai pluralitas berbangsa dan bernegara. Melihat fakta tersebut, posisi demokrasi berada pada simpang jalan antara lokalitas dan universalitas. Gerakan demokratisasi kemudian harus bisa secara faktual menempatkan dirinya sebagai nilai universal yang bisa memediasi berbagai pluralitas dalam panggung keadilan kebersamaan. Disisi lain juga harus tahu diri untuk berpijak pada bumi dimana dia tumbuh (adaptasi budaya).

Pada akhirnya humanitas dan multikulturalisme menjadi prinsip dan pegangan yang bisa memediasi dan mengakomodir beberapa arus besar yang dijelaskan di atas. Prinsip humanisme yang membumi dan manusiawi mampu mengantarkan beberapa arus besar tersebut kepada kondisi yang berkeadilan. Dimana berkeadilan yang dimaksud adalah paham kesetaraan antar manusia, tidak ada perbedaan antar warga negara berdasarkan alasan apapun. Kehendak bersama untuk tidak ditindas, dihisap, diperkosa dan dikekang, keinginan bersama untuk ‘bebas dari’ rasa takut bukan ‘bebas untuk’, karena sering bertentangan dengan budaya lokal dan tatanan sosial yang ada. Bisa kita sinkronisasikan dengan melihat fenomena LGBT. Prinsip multikulturalisme yang mengisaratkan kehendak untuk membawa semua ekspresi kebudayaan kepada semua struktur yang seimbang dimana praktik penghormatan akan identitas subjek yang lain dan ‘merayakan perbedaan’ adalah salah satu bukti keniscayaan sebagai warga negara yang cakap dan dewasa terhadap pluralitas berbangsa dan bernegara.

Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan,”Manusia dalam kehidupan bernegara berbangsa adalah manusia yang berstatus sebagai warga, ialah sebagai warga suatu bangsa dan sekaligus sebagai warga suatu negara. Pengakuan seperti ini sesungguhnya merupakan peristiwa baru dalam sejarah kehidupan manusia. Berabad lamanya manusia hidup sebagai hamba-hamba sahaya, dan boleh dibilang tak bernilai apapun dalam masyarakatnya, kecuali tak lebih-tak kurang, hanya sebagai noktah atau oknum yang tak punya jati diri sebagai manusia seutuhnya, yang oleh sebab itu boleh dikorbankan demi kelestarian eksistensi kelompok atau kaumnya.”

Read more

Himpunan mahasiswa islam atau biasa disingkat dengan istilah HmI. Organisasi ini didirikan oleh Lafran Fane bersama beberapa teman-temannya yang lain sejak tanggal 5 februari 1947. Bisa dikatakan organisasi mahasiswa islam tertua di indonesia, bahkan di asia. Secara tidak langsung organisasi ini memiliki pengalaman atau dinamika yang berbeda dari organisasi yang lain. Peran menjaga keutuhan NKRI dan merawat generasi umat Islam menjadi landasan utama mengapa organisasi ini didirikan. Dalam kesempatan kali ini, saya berupaya objektif melihat kondisi umat islam sebagai salah satu kader dari himpunan mahasiswa islam, dan sedikit ingin memberikan tawaran strategi kepada organisasi ini yang harusnya menjadi kemestian posisi dan peranannya. Umat islam selama ini cenderung keliru mengartikan ibadah dengan membatasinya pada ibadah-ibadah ritual. Betapa banyak umat islam yang disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah, tetapi mengabaikan kemiskinan, penyakit, kebodohan, kesengsaraan, kelaparan, dan kesulitan hidup yang diderita oleh saudara-saudara kita dalam kemanusiaan.

Betapa banyak orang kaya islam yang dengan khusyuknya meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh manusia digembosi penyakit dan kekurangan gizi. Bahkan ada yang menghabiskan uang jutaan hingga milyaran hanya untuk upacara-upacara keagamaan, disaat ribuan anak tidak mampu melanjutkan sekolahnya, tidak mampu membayar iuran biaya rumah sakitnya (bpjs), dan betapa mengerikan disaat bersamaan ada ribuan umat islam terpaksa menjual iman dan keyakinannya kepada tangan-tangan kaum kapitalis…

Nah, posisi dan peranan kader organisasi ini dimana? Harusnya baik secara individu ataupun institusi, membatu ataupun cukup melek melihat kondisi sosial seperti ini adalah kewajiban setiap manusia, sebab kita sebagai makhluk sosial yang orientasinya yaitu ber-gotong royong bukan sebaliknya. Membela fakir miskin dan beberapa manusia yang menderita lainnya adalah melanjutkan tugas Rasul dalam membuang beban penderitaan dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Bukankah Rasulullah s.a.w. berkata,”Kamu ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang lemah di antara kamu. (H.R. Ashhabus Sunan).”Dan kepada istrinya, beliau berpesan,”Wahai Aisyah, cintailah orang miskin dan akrablah dengan mereka, supaya Allah pun akrab juga dengan engkau pada hari kiamat. (H.R. Al-Hakim).”Dan kepada umat manusia, beliau berwasiat,”Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin.(H.R. Ad-Daruquthni).”

Demikian salah satu tanggung jawab sosial kader himpunan mahasiswa islam. Selain itu, cukup menebar nilai-nilai keislaman melalui dakwah-dakwah progresif (kesesuaian antara ucapan dan tindakan), dalam artian berkelanjutan hingga keakar rumput supaya masalah keummatan bisa diretas hingga kemasalah yang paling mendasar. Karena banyak orang mengira bahwa dakwah sudah berakhir setelah khotbah di masjid ataupun dalam forum basic training (bastra), setelah menyuruh orang berbuat baik, setelah melarang munkar, dan setelah menerangkan hukum-hukum islam. Selama ini, pengajian-pengajian dianggap sudah berhasil ketika masjid sudah penuh dengan pengunjung, kalau sudah banyak orang membaca Al-Quran. Padahal pada saat bersamaan, di gubuk-gubuk pinggiran kota, gelandangan merintih kesakitan. Di tempat lain, banyak umat islam tidak mampu melanjutkan sekolahnya karena persoalan biaya mahal. Disinilah kita berbicara tentang tugas kader ataupun organisasi sebagai manusia dan wadah dimana di dalamnya katanya memiliki spirit pembela kaum lemah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI dan regenerasi umat. Mungkin dengan melakukan hal diatas, kita bisa melihat rill output dari proses kaderisasi ditubuh himpunan yang tercinta ini terhadap masyarakat agar nilai ilmu, iman, amal dapat tercapai melalui pengabdian..
Yakin Usaha Sampai..

(image source: mojok.co)

Read more

Kondisi pasca bergulirnya reformasi (1998), membawa indonesia semakin terjun bebas dalam kebangkrutan dan di ambang negara gagal (failed state), akibat kondisionalitas neoliberal (liberalisme ekonomi berjubah malaikat) yang semakin hari semakin hegemonik dan mengakar. Kondisi terjajah yang lebih parah dari masa revolusi kemerdekaan 1945, keterjajahan tanpa perlawanan! Sangat ironis! Bukan reformasi yang salah adinda, tetapi ketidaksiapan secara kolektif kaum intelektual dan pergerakan nasionalis-patriotik organik dalam menghadapi transisi kekuasaan, sehingga muncul euphoria, konflik elit dan dari dalam dan intervensi kekuatan imperialisme tanpa disadari telah memposisikan, menkonstruksi dan mendesain indonesia sebagai negeri yang secara esensif tidak berdaulat, konsumtif, ditelanjangi martabat jati diri budaya bangsanya dan terjebak dalam prosedur-prosedur yang (katanya) demokrasi. Dalil demokrasi pun dinyanyikan merdu dimana-mana seperti halnya suara vokalis band dewa 19 yaitu ahmad dhani. Beliau akhir-akhir ini sering menyapa beberapa masyarakat DKI Jakarta melalui media televisi. Semoga nilai demokrasi yang dinyanyikan itu tidak bersifat western-liberalistik. Selanjutnya, metode strategi kaum imperialis yang disinggung diatas itu lebih maju, bahkan sudah jauh masuk menghantam, mengkebiri, menusuk dan meracuni nilai dasar kebangsaan kita melalui aturan-aturan nasional (liberalisasi undang-undang), disisi lain kaum patriotik-aktivis nasionalis terus tersegmentasi dalam konflik pragmatik, yang memang sengaja diciptakan agar tetap terpecah-pecah dalam konflik remeh temeh dan merebaknya kolaborasi syahwat kuasa ilutif elit politik dan pimpinan-pimpinan nasional..

Namun, sejarah bangsa ini, telah mencatat peran kaum muda sebagai garis pelopor (popular front) dalam melakukan perubahan, merebut kemerdekaan, memperjuangkan nilai-nilai keadilan, pembelaan terhadap kaum tertindas dan menjebol tirani penjajahan (ibarat tim sepak bola manchester united merobek gawang manchester city). Sebuah proses sejarah yang cukup fenomenal, orisinil, aktual dan progresif dalam lembar sejarah bangsa yang melahirkan konsekuensi keberlanjutan tugas sejarah bagi kaum muda indonesia. Namun mampukah kaum muda indonesia berhadap, bangkit dan mengembalikan kedaulatan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial, betul-betul kembali menjadi milik rakyat, bangsa dan negara ini. Sebab kalau kita melihat sejarah, secara fitrah memiliki watak moral pembelaan terhadap ketidakadilan sosial dan diberkahi-Blessing Of God-sensitivitas dalam perjuangan politik pembebasan serta merta merebut kekuasaan dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dari segala bentuk, varian, menu penjajahan.

Kaum muda indonesia dalam era gerakan sosial baru, harus dapat mendorong spirit nasionalisme dan pluralisme, yakni bukan sekedar menjebol tirani tapi juga membangun secara konsepsi dan merealisasikannya melalui riil republik secara kolektif-progresif dengan watak keadilan..

Kesadaran moralitas sosial dan perjuangan politik, tidak dapat dipisahkan. Moral Force semata hanya akan melahirkan sikap-sikap reaksioner dan tidak berkelanjutan. Begitu pula Political Struggle An Sich seringkali menjerumuskan kaum muda dalam giat politik pragmatis, terseret dan terkondisikan dengan konsensus elitis yang cenderung anti sosial dan anti keadilan. Perjuangan moral dan politik merupakan kesatuan dinamis yang berfaedah memberikan ruang kritik-otokritik dalam perjalanan perjuangan dalam mewujudkan negara yang menjunjung sistem demokrasi subtantif berkelanjutan..

Keberlanjutannya mensyaratkan adanya kesadaran dan persatuan kolektif yang terkelola secara sistemik untuk mengantarkan menuju capaian visi-misi tanpa melihat perbedaan latar belakang ras,agama dan suku. Disini organisasi perjuangan lahir, sebagai kesadaran dan kebutuhan bersama serta tanggung jawab sosial kemanusiaan untuk menggalang rasa kebersamaan, menghargai keberagaman, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat. Organisasi bukan semata wadah yang statis, namun merupakan motor laju bergerak yang dinamis, ada proses mengarungi gelombang badai samudera yang cetar menurut syahrini, serta arah capian labuhan akhir..

Melawan rezim neoliberalisme dan ketidakadilan sistemik tidak bisa hanya dalam skema perjuangan politik yang sporadis, mesti didorong mewujudkan perjuangan semesta. Neoliberalisme hanya mampu dilawan dengan akar kekuatan nasionalisme profetik – pluralisme dan popular, konsekuensi logisnya mesti melakukan pergerakan popular (merakyat) yang tidak hanya sekedar jargon dan buaian verbal. Nasionalisme-pluralisme-popular, diartikan sebagai kerangka kerja programatik dalam proteksi dan distribusi nasional interest untuk negara dan rakyat, proteksi kepentingan rakyat miskin. Hal ini sebagai antitesa pergerakan kaum nasionalis sempit yang berkedok partai politik, yang tidak bisa bisa melakukan pendobrakan menuju era baru bahkan cenderung feodal dan mempertahankan status quo. Mungkin dengan cara ini kemerdekaan sejati bisa terwujud..
Yakin Usaha Sampai.. Merdeka.!!

Read more

Di saat saya menulis artikel ini, status dan kedudukan saya masih sebagai mahasiswa, yakni mahasiswa S1 yang masih berproses disalah satu kampus yang (katanya) merah yang bertepatan dibulan (maret) ini fakultas saya merayakan dies natalies.. Mengapa dilekatkan dengan istilah merah? Entah mungkin karena bangunannya cenderung berwarna merah ataukah mungkin karena memang kampus ini (pernah) punya sejarah panjang tentang pergerakan mahasiswa yang dulunya konsisten menjaga isu kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, toleransi, demokrasi, dan isu-isu lainnya yang mampu me-merahkan mata dan telinga kita apabila itu ditelanjangi.. Secara pribadi indikator yang saya gunakan mengapa menggunakan kata Merah karena pendekatan empirik, yakni pengalaman dari para pendahulu, sesepuh kami di kampus yang selalu mempromosikan kampus andalan mereka melalui simbol-simbol yang bahkan Yasraf Amir Piliang pun tak pernah menemukan dan bahkan membaca teorinya. Kata merah itu sendiri, sering dikonotasikan dengan sikap yang berani, jujur, musafir keadilan, seperti halnya lembaga negara kita yang mungkin beberapa bulan yang lalu melalui media, ratingnya sempat mencapai puluhan bintang-bintang, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbicara tentang tugas mahasiswa, mahasiswa acapkali dianalogikan sebagai agent of change, yaitu kumpulan pemuda pencetus perubahan yang seringkali memiliki semangat oposisi terhadap rezim yang berkuasa dan otoriter. Pemilik sah paradigma idealis yang orientasi pengabdiannya untuk ummat dan bangsa, itulah mahasiswa.

Mahasiswa juga sering dianggap mesin (pelopor) runtuhnya kekuasaan yang merampas hak dan kemerdekaan rakyatnya, anggapan ini semakin dipertegas ketika runtuhnya orde baru. Makanya sering terdengar asumsi bahwa kehadiran mahasiswa secara tidak langsung mengganggu dan mengancam eksistensi kelompok dan golongan tertentu. Bukan cuman itu tugas suci mahasiswa, menurut wikipedia, agent of social control juga termasuk salah satu tugasnya. Hal ini bisa kita saksikan ketika mahasiswa membentuk aliansi atau organisasi massa yang berperan aktif mengawasi seluruh kebijakan pemerintah agar tidak ada satupun kalimat yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, jangan pernah salahkan asumsi-asumsi yang mengatakan “harapan masyarakat indonesia melejit tinggi terhadap sepak terjang mahasiswa dalam mengusung perubahan yang lebih baik.”

Jika melihat tugas suci mahasiswa diatas, terkadang untuk menerjemahkannya dengan kondisi sekarang itu agak menggelikan dengan fenomena beberapa kelompok mahasiswa hari ini. Saya melihat pergerakan beberapa kelompok mahasiswa seakan tercerabut dari akarnya yaitu tercerabut dari tengah-tengah masyarakat dan seakan-akan mahasiswa itu berasal dari planet luar bumi. Sebagian Mahasiswa sekarang ini lebih suka berdebat pada tataran wacana saja tidak pernah ada tindak lanjutnya. Analoginya ibarat wacana tentang (calon) kekasih atau biasa disebut dengan kata perempuan lawan jenis dari laki-laki. Konsepsi pewacanaan tentang perempuan, cita dan cinta terkadang terlalu tinggi dan hiperbola, bahkan landasan teori yang digunakan jauh diatas melewati teori psycologi-nya Freud. Berarti lebih dari tuntas. Syair-syair cinta-Nya bisa dituliskan dimana saja. Alamat yang ditujukannya pun bisa kemana-mana (asal jangan salah alamat perihal film india yang juga pernah booming ditempo hari). Mengapa di tengah belantara kehidupan mahasiswa selalu terselip wacana tentang perempuan, cita dan cinta? Sebab itu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam film filosopi kopi ibarat kopi, susu, sendok dan cangkir. Ironisnya jika cinta-Nya tidak berlandaskan keyakinan, ide dan gagasan yang serupa, tetapi berlandaskan rupa dan darimana fakultasnya. Suatu kewajaran jika dalam prakteknya tidak sesuai dengan konsepsinya. Lebih Parahnya jika hanya bermodalkan dompet yang fasenya menghadapi ketimpangan ekonomi. Sangat mendekati mustahil. Mampukah materi dipersekutukan dengan yang non materi? Makanya perlu diselaraskan dengan apa yang dihadapi. Apabila berangkat dari kacamata materi berarti itu hanya bisa dipertemukan dengan materi, begitupun sebaliknya. Demikian salah satu penyebab terkadang beberapa mahasiswa belum mampu menuntaskan hal-hal yang menurut logika bisa disederhanakan. Mungkin karena mereka telah melampaui prinsip-prinsip atau kaidah berpikir realistis-rasional (utopis-irasional)..

Coba bayangkan perihal tentang kepribadiannya pun bisa dikatakan gagal produk. Nah, masih adakah harapan masyarakat indonesia? Untuk menjawabnya marilah sejenak merefleksikan ingatan kita tentang sejarah tokoh besar yang mempelopori suatu perubahan. Pemimpin besar seperti Hitler sang pemimpin kontroversial sebelum dia berhasil menjadi Fuhrer (pemimpin) dia aktif bekerjasama dengan para buruh yang ditindas oleh yahudi, mantan militer yang menjadi preman yang kemudian dia rangkul sehingga menjadi cikal bakal terbentuknya Pasukan tempur “SS” yang ditakuti didunia. Baginya harga diri rakyat jerman adalah yang paling utama. Kemudian Contoh kedua. Soekarno sang proklamator yang dipuja bagikan dewa dan dibenci sebagai pecandu wanita. Sebelum dia berhasil menjadi pemimpin, dia dimana-mana diasingkan, dipenjara kedaerah terpencil tetapi apa yang dia lakukan dia mengabdi kepada masyarakat, mengajarkan nya menulis, mengajarkan membaca sampai-sampai untuk mengalahkan soekarno hanya ada satu cara yaitu menjauhkannya dari rakyat. Hal itu terbukti saat soekarno menjalani tahanan rumah dimana dia di asingkan dari rakyatnya akhirnya dia lemah dan tidak dapat berbuat apalagi. Tokoh-tokoh tersebut melihat penjajah adalah musuhnya. Dimatanya hanyalah penjajah musuh yang sesungguhnya bukan pejuang ataupun kelompok lain yang melakukan perlawanan. Sebagian kelompok mahasiswa hari ini, mencita-citakan terwujudnya kondisi yang adil dan melahirkan kesejahteraan sosial secara merata tetapi mindset dalam hal melihat masalah itu terkadang kolot dan sesat. Menjadikan kelompok yang diluar dari dirinya adalah sebagai kafir, antek fir’aun, komunis, apalah-apalah. Padahal dengan tidak bersatunya kelompok mahasiswa dari latar belakang apapun (agama,suku,disiplin ilmu), disitulah sebenarnya bersemayam para penjahat-penjahat berjubah malaikat yang siap memporak-porandakan bangsamu. Perbedaan latar belakang dari beberapa kelompok mahasiswa sebenarnya bukan alasan mandeknya distribusi ide dan gerakan untuk ummat dan bangsa, sebab jika setiap kelompok mahasiswa mengklaim memiliki ideologi berarti itu sifatnya universal, tanpa sekat dan pastinya cakap merespon modernitas. Konsekuensi logisnya setiap kelompok mahasiswa tidak terjebak lagi dalam kesesatan berpikir, tidak ada lagi alasan untuk tidak bersatu membangun aliansi gerakan sosial lintas agama dan suku (seperti cipayung plus) demi menjaga keutuhan bangsa dan merawat generasi ummat (tema milad hmi ke-69) demi menyelamatkan komitmen nasional bernegara. Komitmen nasional yg di maksudkan ialah komitmen bangsa kita sejak awal untuk mendirikan negara bangsa yang modern, yang berkeadilan, toleransi, dan demokratis. Berkeadilan mengandung makna paham kesetaraan antar manusia, tidak ada perbedaan antar warga negara berdasarkan alasan-alasan apapun juga. Non diskriminasi adalah persyaratan utama menuju bangsa berkeadilan. Oleh karena itu, keadilan memerlukan sikap egalitarianisme yang memandang semua orang sama, memiliki potensi yang sama untuk diaktualisasikan, dan harus dikembangkan sikap saling percaya antar anggota masyarakat. Itu berarti bahwa masyarakat yg adil adalah masyarakat yang terbuka, yang toleran, yang tidak menginginkan pemaksaan suatu pendapat kepada kelompok yang lain. Keterbukaan ini juga menjadi syarat adanya demokrasi karena demokrasi adalah masyarakat yang terbuka, yang intinya adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat, baik itu level pribadi maupun institusional. Dengan kebebasan itu, kita bisa mendorong produktivitas yg lebih tinggi kepada masyarakat. Karena adanya kebebasan, ada inisiatif. Kita bersyukur bahwa demokrasi di negeri kita sudah di letakkan dasar-dasarnya dan sekarang ini sudah mulai menunjukkan hasil-hasilnya atau kinerjanya meskipun di sisi lain masih ada akses-akses yg tidak bisa di tempuh bahkan di hindari sekalipun. Masyarakat yang adil dan terbuka serta demokratis adalah masyarakat yg membawa semangat pluralisme bahwa kita mengakui adanya perbedaan di antara kelompok masyarakat tapi perbedaan itu hrus dipandang secara positif. Perbedaan hrus dijadikan modal menuju kebaikan dan kebajikan bermasyarakat dan berbangsa. Jika setiap kelompok mahasiswa dari latar belakang apapun telah melewati syarat-syarat seperti diatas, niscaya harapan masyarakat indonesia terhadap mahasiswa masih menyala dan semakin melejit-lejit, bukan hanya sekedar asumsi kawan. Seperti inilah tugas suci yang wajib ditunaikan, melebihi tugas dan fungsi mahasiswa yang sering terdengar dalam kalimat sambutan, orasi, dakwah dosen saat kegiatan penerimaan mahasiswa baru di kampus. Insya Allah mari kita sama-sama ber-gotong royong demi tercapainya ilmu, iman, amal padu mengabdi…. Yakin Usaha Sampai..

Read more

neokolonialisme neoliberalisme

Perjalanan bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang merdeka adalah sejarah perjuangan melawan segala bentuk penindasan di bumi pertiwi. Kolonialisme untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia menimbulkan kegetiran hidup dan perlakuan yang tidak adil bagi bangsa Indonesia. Superioritas bangsa penjajah yang melakukan proses dehumanisasi merupakan derita pahit yang harus terus dialami oleh bangsa ini. Kegetiran hidup yang terus dialami oleh bangsa ini akhirnya terakumulasi dalam ingatan sehingga bangsa ini menyadari kolonialisme harus dilawan!!!

Perjuangan bangsa Indonesia melawan segala bentuk ketidakadilan yang dibawah para bangsa penjajah pada dasarnya merupakan perjuangan oleh semua pihak yang merasakan kegetiran hidup akibat dari penindasan tersebut. Tanpa memandang latar belakang ras, agama, maupun suku semua berjuang untuk terlepas dari proses dehumanisasi para penjajah. Upaya melawan kolonialisme adalah upaya semua golongan untuk menikmati anugerah kemanusiaanya. Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan mengajarkan pada generasi kita bahwasanya kemerdekaan ini diraih karena perjuangan seluruh bangsa Indonesia, perjuangan ini tidak dimonopoli oleh golongan tertentu saja.. Proklamasi kemerdekaan yang dibacakan para founding father bangsa ini harusnya menjadi agenda yang patut dirayakan. Pembacaan proklamasi kemerdakaan menjadi titik tonggak bangsa Indonesia terlepas dari kolonialisme yang berupaya merampas kekayaan dan hak hidup bangsa ini. Tapi perjuangan para pendahulu kita tidak berhenti sampai disitu, perjuangan ini harus terus terekam diingatan kita bahwa kolonialisme tidak boleh menagakat ditanah ini dan merampas kekayaan bangsa ini.

Seiring berjalanya waktu upaya merebut dan mengeksploitasi kekayaan dan hak hidup bangsa ini mencoba kembali dan bahkan telah mengakar dengan wajah baru. Neokolonialisme menggunakan wajah baru dengan dalih liberalisasi perdagang. Dengan dalih liberalisasi membuat semua aspek kehidupan tunduk pada logika capital. Kekayaan bangsa yang harusnya diperuntukkan untuk kemakmuran bangsa ini telah tunduk kepada para penguasa capital. Negara sebagai institusi yang pada dasarnya dibentuk untuk mensejahterahkan masyarakat, para birokrat pemegang kebijakan justru berselingkuh dengan para korporat-korporat untuk mengeruk kekayaan bangsa ini dan meninggalkan kepedihan bagi masyarakat. Pada dasarnya jeratan neokolonialisme/neoliberalisme menemukan pintu masuknya di Indonesia dimulai dengan naiknya rezim orde baru lewat kebijakannya melegalkan investasi asing di tanah Indonesia. Hal ini menjadi ironi karena neoliberalisme dan neokolonialisme sebelumnya sangat ditolak oleh kepemimpinan founding father kita.

Korporatokrasi; perselingkuhan birokrasi dan korporasi yang mewujud pada kebijakan yang berpihak pada korporat merealitas pada kebijakan pemerintah kota Makassar. Proyek reklamasi dan penggusuran menggambarkan secara tepat perselingkuhan ini. Kebijakan ini menimbulkan kegetiran dan pahitnya hidup bagi masyarakat kota Makassar dan menguntungkan para korporat. Kondisi ini harusnya menyadarkan kita bahwasanya kolonialisme dengan wajah baru itu masih ada, dan harusnya realitas tersebut menghentak kita untuk sama-sama berjuang melawan bentuk penindasan tersebut. HMI sebagai sebuah organisasi perjuangan harusnya ikut berperan besar dalam mengawal kondisi ini. Kesadaran untuk berjuang harusnya hadir dalam setiap pemahaman kader bahwa ada tanggung jawab intelektual yang mereka emban dalam pundak mereka. Membangun jaringan perjuangan dengan organ-organ kemahasiswaan yang memiliki basis ideologis yang sama merupakan hal yang urgen untuk menguatkan perjuangan semata-mata bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

 

hhh2

Read more